Misteri Pembunuhan Berantai

SALAH satu dari sepuluh hal yang paling tidak disukai Farid adalah berurusan dengan polisi. Tidak efektif, itu alasannya. Bagaimana tidak? Kalau kau salah, kau akan nampak semakin salah. Tapi bila kau benar, kau pun akan tetap nampak salah! Karena itu, begitu dua orang polisi mendatangi rumahnya sore itu, dia langsung pasang muka masam.

Farid sebenarnya sudah berencana untuk membohongi polisi-polisi itu dengan memesan pembantunya agar mengatakan bahwa dia sedang keluar. Tapi Farid yakin dia pasti akan tetap diuber sampai ketemu. Bahkan yang kemudian ditakutkannya ialah kalau ia terkesan meng-hindar, bisa-bisa dia malah dicurigai. Inilah tidak efektifnya!
   
Farid menemui mereka di beranda rumah, dimana pembantunya telah memper-silakan dua orang polisi itu untuk duduk menunggunya.
   
“Saudara Farid?” sapa seorang dari dua polisi itu saat Farid muncul dari dalam rumah.
   
Farid menyalami tamu-tamunya dengan canggung.
   
“Menurut pembantu saya, Bapak-bapak dari kepolisian?”
   
“Benar. Saya Komandan Polisi Hendra dan ini ajudan saya, Iptu Iskandar.” Lalu Komandan Hendra pun langsung menuju pokok tujuan kedatangan mereka. “Seperti yang sudah Anda ketahui, salah seorang teman Anda telah tewas terbunuh di rumahnya. Kami ingin mendapatkan informasi-informasi yang sekiranya berkaitan dengan pembunuhan teman Anda itu.”
   
“Saya pasti akan membantu bila memang saya bisa.” Farid ingin selekasnya polisi-polisi itu mengorek keterangan darinya, dan dia akan menjawabnya setangkas mungkin, dan berharap dua polisi itu segera enyah dari hadapannya.
   
“Kapan terakhir kali Anda bertemu dengan Hakim?”
   
“Saat masih hidup?”
   
“Apakah Anda juga bertemu dengan Hakim setelah dia mati?”
   
Farid bergidik. “Tadi malam dia menemui saya dalam mimpi…!”
   
Komandan Polisi Hendra dan ajudannya tersenyum. “Kami ingin tahu kapan terakhir kali Anda bertemu dengan Hakim saat masih hidup.”
   
“Dua hari yang lalu,” jawab Farid langsung.
   
“Hakim teman Anda juga ditemukan terbunuh dua hari yang lalu.”
   
“Dia mati malam hari, sementara saya bertemu dengannya waktu masih siang hari.”
   
“Anda begitu yakin dia mati malam hari.”
   
Busyet, apakah aku terlalu cepat menjawab pertanyaan mereka? “Saya…saya baca di koran,” jawab Farid akhirnya dengan gelagapan.
   
“Salah seorang teman Anda yang lain juga telah hilang tanpa kabar.”
   
“Rexi?”
   
“Iya. Apakah menurut Anda kematian Hakim berhubungan dengan hilangnya Rexi?”
   
“Saya tidak tahu, Pak. Kemarin saya juga ditelepon Ibu Rexi dan menanyakan apakah saya tahu dimana Rexi. Biasanya dia memang tak pernah menghilang seperti ini.”
   
Komandan Polisi Hendra mencoba memancing. “Teman-teman Anda yang lain mencurigai Rexi karena mereka tahu Hakim dan Rexi berselisih karena masalah pacar.”
   
“Saya sama sekali tak tahu itu. Saya tidak suka gosip-gosip yang tidak efektif.”
   
“Tapi Anda tahu Hakim dan Rexi berselisih?”
   
“Kami sudah biasa mengalami perselisihan-perselisihan kecil seperti itu, dan saya sama sekali tak menghiraukannya.” Wajah Farid yang sudah masam menjadi semakin masam dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
   
“Kapan terakhir kali Anda bertemu dengan Rexi?”
   
“Juga dua hari yang lalu.”
   
“Anda bertemu dengan Hakim dua hari yang lalu sebelum dia terbunuh. Anda juga bertemu dengan Rexi dua hari yang lalu sebelum dia menghilang. Apakah dua orang itu menunjukkan sikap atau perilaku yang tak wajar?”
   
“Saya tidak paham maksud Bapak.”
   
“Apakah Anda mendengar Rexi mengancam akan membunuh Hakim, atau sebaliknya?”
   
Farid tersenyum mencemooh. “Joshep teman saya juga seringkali mengancam akan membakar saya hidup-hidup karena suka ngaret kalau janjian dengannya.”
   
“Anda sepertinya tidak serius menanggapi pertanyaan-pertanyaan kami, padahal ini menyangkut dua orang teman dekat Anda.”
   
“Terus terang saja, Pak. Saat ini saya masih pusing dan bingung. Seorang teman saya terbunuh dan seorang lagi hilang tanpa jejak. Saya masih kalut memikirkan mereka. Saya sedih karena harus kehilangan sahabat-sahabat saya. Dan sekarang Anda datang bertanya-tanya seolah saya tahu segalanya!”
   
Bersambung ke: Misteri Pembunuhan Berantai (27)