Misteri Pembunuhan Berantai

Dua orang polisi itu saling berpandangan. Komandan Polisi Hendra yang bijak segera menyadari keadaan. Dia tersenyum lembut kepada Farid yang terlihat menyimpan emosi dari ekspresi wajahnya.
   
“Mungkin kedatangan kami saat ini kurang berkenan di hati Anda,” kata Komandan Hendra dengan sikapnya yang kebapakan. Ia tahu cara ini selalu ampuh untuk mendekati anak-anak muda yang seringkali masih emosional. “Baiklah, kami minta maaf telah mengganggu hari Anda. Mungkin kami bisa melanjutkan wawancara ini dengan teman Anda yang lain.”
   
Dua orang polisi itu bangkit dari duduknya. Farid hanya terdiam sambil memandangi mereka. “Maafkan kalau saya tidak bisa membantu banyak,” kata-nya kemudian.
   
“Anda pasti bisa membantu kami, hanya waktunya saja yang barangkali belum tepat.” Komandan Hendra berlalu dengan diikuti ajudannya yang tak banyak bicara.
   
Semoga tak ada waktu yang tepat itu! batin Farid saat melangkah menuju ke dalam rumah. Di ruang tamu dia berhenti sesaat untuk mengambil rokok, lalu menyulutnya sambil terus berjalan menuju dapur. Ia ingin minum air dingin untuk membasahi kerongkongannya yang kering gara-gara pertemuannya dengan dua orang polisi tadi. Ibunya yang masih berada di dapur bersama pembantu langsung menegurnya.
   
“Ada apa tadi dengan polisi-polisi itu, Rid?”
   
“Biasalah, Bu.”
   
“Biasa bagaimana?”
   
Farid mengambil gelas dan menuangkan air dingin ke dalamnya. “Mereka datang untuk bertanya-tanya tentang Hakim.”
   
“Temanmu yang terbunuh itu?”
   
“Iya.” Air dingin segera membasahi kerongkongan Farid yang kering.
   
“Karena itu, Ibu selalu kuatir kalau harus meninggalkan kamu sendirian di rumah. Ayahmu memang tidak merasakan hal itu karena dia sudah biasa meninggalkan rumah sampai berhari-hari mengurusi pekerjaannya. Tapi ibu selalu kuatir…”
   
“Saya kan sudah dewasa, Bu.” Farid paling sebal kalau ibunya mulai menguatirkannya.
   
“Hakim juga sudah dewasa, kan?” Seperti biasa, ibunya tidak pernah mau kalah.
   
“Ah, Ibu sama sekali tidak efektif,” sela Farid asal-asalan.
   
“Lho, tidak efektif bagaimana? Pembunuh-pembunuh jaman sekarang tidak memandang korbannya sudah dewasa atau belum. Lha wong penjual VCD porno saja tidak peduli pembelinya sudah dewasa atau masih anak-anak.”
   
Tuh, kan? Farid langsung manyun. Ceramah ibunya pasti akan berlajut kalau saja ponselnya tidak terdengar berdering.
   
“Diterima dulu tuh,” kata Ibunya. Farid langsung meletakkan gelasnya di pinggir meja dan bersiap untuk meninggalkan dapur. Tapi segera saja dia berhenti karena ibunya berteriak, “hati-hati kalau naruh gelas. Kalau kesenggol bisa jatuh tuh!”
   
Karena gugup dan tak mau diomeli lagi, Farid langsung saja menyambar gelasnya yang masih terisi. Dibawanya gelas itu ke kamarnya. Ponselnya tadi ia taruh di atas meja kamar tidur.
   
Ponsel kecil itu masih berdering saat Farid sampai di kamarnya. Segera saja ia ambil, dan Farid langsung melihat layar ponselnya yang menyatakan datangnya sebuah SMS. Tanpa sempat meletakkan gelas yang dipegangnya, Farid segera membuka SMS yang baru diterimanya itu.
   
“Pembalasan dendam pasti akan datang, cepat atau lambat. Bersiap-siaplah untuk menjemputnya.”
   
Mata Farid langsung terbelalak. Ia mencoba membaca sekali lagi isi SMS itu dan memelototi layar ponselnya untuk memastikan siapa pengirimnya. Tak salah lagi, itu memang SMS dari Wulan!

Tubuh Farid langsung gemetar karena ketakutan yang teramat sangat. Bahkan tanpa sadar gelas yang dipegangnya pun terjatuh dan terbanting ke lantai kamarnya. Suaranya yang nyaring saat pecah langsung membuat ibunya yang masih di dapur berteriak dengan lantang.
   
“Fariiiiiid, berapa kali Ibu harus bilang hati-hati kalau naruh gelaaaaass…!”
   
Tapi Farid tak menghiraukan teriakan itu. Yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana ia harus menyelamatkan diri dari pembalasan dendam arwah Wulan!

Bersambung ke: Misteri Pembunuhan Berantai (28)