Orang-orang Gila di Balik Tren Buku

ZonaKamu - Apabila kita perhatikan, tren perbukuan di Indonesia hampir selalu dicetuskan atau digerakkan oleh orang-orang “gila”. Itulah kenapa, untuk dapat melahirkan suatu tren baru, diperlukan suatu kenekatan, entah dari pihak penulis, atau dari pihak penerbit. Tanpa kenekatan, tren baru sulit dilahirkan.

Coba kita lihat tren besar yang pernah dilahirkan Moammar Emka beberapa tahun yang lalu. Emka menulis sebuah buku, ‘Jakarta Undercover’, yang merupakan hasil rangkaian reportasenya dalam dunia malam. Sebagai wartawan yang memang biasa meliput hal itu, Emka tentu memiliki kompetensi dalam bidang itu. Hanya saja, untuk dapat menerbitkan buku semacam itu, diperlukan suatu kenekatan tersendiri.

Emka mungkin sudah nekat, terbukti dia telah mengkristalkan idenya untuk menerbitkan buku tersebut. Tetapi menemukan penerbit yang sama nekatnya, pasti bukan perkara mudah.

Waktu itu, penerbitan buku di Indonesia belum begitu marak, dan jumlah penerbit belum sebanyak sekarang. Kebanyakan penerbit waktu itu masih terkurung dalam “idealisme” penerbitannya, dan tentunya sulit untuk menemukan penerbit yang cukup gila agar mau menerbitkan buku yang ditulis Emka.

Tetapi, untungnya, Emka berhasil menemukan penerbit yang sama “gila”. Ketika akhirnya ‘Jakarta Undercover’ terbit, kehadirannya mampu menciptakan tren baru dalam ranah perbukuan di Indonesia.

Buku ini tidak hanya luar biasa laris, tetapi juga melahirkan fenomena baru dalam industri penerbitan. Buku ini seolah mendobrak “kekakuan” dan “keangkuhan” para penerbit yang waktu itu masih berkutat dengan buku-buku berat.

Pada waktu-waktu itu, karena tren baru yang timbul, berpuluh-puluh buku terbit dengan isi yang tak jauh beda dengan buku yang ditulis Emka, meski mungkin tidak sesukses ‘Jakarta Undercover’.

Tetapi, yang jelas, kehadiran buku Emka mampu menciptakan tren besar, dan Emka bahkan sanggup mengulangi fenomena yang telah diawalinya. Berturut-turut dia menulis sekuel ‘Jakarta Undercover’ hingga tiga seri, dan semuanya mencapai best seller sebagaimana buku pertama. Sebuah pencapaian dan fenomena yang dilahirkan karena adanya seorang penulis yang nekat, dan penerbit yang gila.

Jika kita membuka sejarah hampir semua tren yang terjadi di muka bumi ini, nyaris semuanya diawali oleh orang-orang “gila”, atau setidaknya orang-orang yang nekat.

Tren dalam dunia apa pun, dari dunia fashion sampai teknologi, hampir semuanya diawali atau bahkan dilahirkan oleh orang-orang “gila”, termasuk pula tren dalam dunia perbukuan. Orang-orang “waras” hanya bisa menjadi follower, orang-orang “gila” yang selalu menjadi pionir.

Begitu pula tren blook di Indonesia, tren ini pun dimulai karena adanya orang-orang “gila” di baliknya. Blook adalah sebutan untuk buku yang berasal atau diadaptasi dari blog. Jauh-jauh hari sebelum Indonesia dilanda demam blook, tren blook sudah melanda Amerika. Ya maklum saja, karena Amrik merupakan nenek moyangnya blog, jadi wajar kalau mereka mendului kita.

Nah, kalau kita menguak sejarah tren blook di Indonesia, mau tak mau kita harus menyebut nama Raditya Dika, karena “orang gila” inilah yang pertama kali menerbitkan buku yang berasal dari blog miliknya. Di Indonesia, tak terhitung banyaknya blogger lain selain Raditya Dika yang juga aktif menulis di blog. Tetapi tidak setiap mereka punya “kegilaan” atau setidaknya “kenekatan” sebagaimana Raditya Dika.

Saya tidak tahu pasti apakah Raditya Dika memang sudah memikirkan untuk menerbitkan blognya dalam bentuk buku, jauh-jauh hari sebelumnya.

Tetapi fakta bahwa akhirnya dia mengumpulkan catatan-catatan blognya untuk dibukukan, itu sudah menunjukkan kalau dia cukup “gila”, karena waktu itu blook sama sekali belum dikenal di Indonesia. Saya bahkan ragu apakah penerbit di Indonesia sudah ada yang mengenal istilah “blook” waktu itu.

Untungnya, Raditya Dika ketemu penerbit yang pas, yaitu Gagas Media. Dan selanjutnya adalah sejarah. Blook ‘Kambing Jantan’ menuai sukses yang bukan kepalang besar, dan kemudian menciptakan tren baru di Indonesia.

Sejak itulah kemudian Indonesia mengenal tren blook. Sisi positifnya, sukses ‘Kambing Jantan’ tidak hanya melahirkan genre dan tren baru dalam dunia perbukuan Indonesia, tetapi juga mampu menumbuhkan semangat menulis di blog. Tak bisa dipungkiri, jumlah blogger di Indonesia meningkat sejak ‘Kambing Jantan’ diterbitkan, karena setiap orang tentu bermimpi untuk juga membukukan blognya.

Sebagaimana yang kita lihat kemudian, tak terhitung banyaknya blook-blook lain yang terbit, meski sebagian besar tetap berisi catatan-catatan ngocol ala Raditya Dika. Puluhan penerbit berlomba-lomba menerbitkan buku dalam genre yang sama, dan tren blook bahkan nyaris menyamai kehebohan tren yang diciptakan teenlit.

Tetapi, sebagaimana teenlit pula, tren ini juga akhirnya memudar karena ‘digempur’ oleh puluhan penerbit dan ratusan judul buku dalam waktu bersamaan. Toko-toko buku dalam waktu singkat disesaki buku-buku dalam genre ini. Dan secepat tren itu mengalami musim pasang, secepat itu pula tren blook mengalami musim surut.

Sebagai pionir, Raditya Dika memang cukup berhasil mempertahankan ‘tahta’nya. Terbukti dia mampu mengulangi kesuksesan untuk buku-bukunya kemudian. Sementara para penulis lain dalam genre ini harus mengalami ‘seleksi alam’, sebagian ada yang masih menghasilkan karya lain dan namanya tetap dikenal, sebagian lain mulai tenggelam.

Nah, berdasarkan dua kasus tren sebagaimana yang telah saya tuliskan di atas, kita tahu bahwa tren selalu dimulai dari adanya kenekatan atau bahkan kegilaan.

Karenanya, jika penerbit ataupun penulis terus saja mencari “jalan aman” dengan hanya mengikuti tren yang telah terjamin sukses, maka dunia perbukuan Indonesia akan sulit berkembang. Untuk meneruskan sebuah tren yang telah memudar dan melahirkan tren baru, harus ada yang memulai. Harus ada yang menjadi pionir. Harus ada yang cukup gila dan nekat.

Memang tidak setiap upaya atau langkah penciptaan baru akan melahirkan sebuah tren yang sama besar sebagaimana tren-tren sebelumnya. Penerbit Gramedia, misalnya, sudah mencoba untuk menggulirkan novel grafis yang diharapkan dapat menciptakan tren baru. Genre baru ini bahkan telah digulirkan ketika era teenlit dinilai mulai memudar. Meski novel grafis belum mampu menciptakan tren besar, namun Gramedia masih mencoba upaya ini.

Sedang Gagas Media juga sudah mencoba upaya-upaya baru, dari adaptasi film ke buku, sampai adaptasi lagu ke buku. Itu upaya-upaya yang kreatif, yang seharusnya juga dilakukan para penerbit lain di Indonesia, agar dunia perbukuan terus mengalami kegairahan yang stabil, tidak melulu hanya digantungkan pada tren yang telah nyata-nyata berhasil.

Memang sungguh enak (dan aman) jika kita hanya menunggu tren-tren yang sedang hit, kemudian ikut terjun ke dalamnya untuk menuai keuntungan dari tren yang sama. Tetapi, pertanyaannya, sampai kapan…?

Jika para penulis hanya mau menjadi follower, jika penerbit hanya mau cari jalan aman, maka dunia perbukuan Indonesia akan terus jalan di tempat, dan tren seolah hadiah dari langit. Kadang-kadang ia muncul, kadang-kadang ia menghilang.

Problematika yang dihadapi dunia perbukuan Indonesia, dari dulu, memang kenyataan ini. Penerbit tentu tak mau terlalu berspekulasi, begitu pula para penulis.

Penerbit akan berpikir seribu kali untuk menerbitkan buku yang nyata-nyata belum jelas kemungkinan pasarnya (karena genre buku itu belum dikenal, atau muatan isinya yang cenderung kontroversial). Sedang para penulis juga kebanyakan tak mau buang-buang waktu untuk menulis sesuatu yang hasilnya belum jelas dapat diterbitkan.

Saya sendiri pun, sebagai penulis, selalu memperhitungkan penerbit mana yang dapat saya masuki ketika akan menulis naskah baru. Sebelum menulis sebuah naskah, saya akan mempertimbangkan terlebih dulu, apakah naskah itu kelak akan dapat diterima penerbit atau tidak.

Saya memiliki daftar penerbit dan masing-masing kecenderungan mereka. Jika para penerbit dalam daftar saya sekiranya tidak ada yang bisa menerima naskah yang akan saya tulis, maka saya pun akan menunda rencana penulisan naskah itu.

Tetapi, sebagai penulis pula, kembali saya menanyakan pada diri sendiri, “Sampai kapan…?” Sampai kapan saya akan terus seperti itu, hanya menulis naskah yang jelas-jelas akan diterima penerbit?

Baca lanjutannya: Orang-orang Gila di Balik Tren Buku (Bagian 2)