Orang-orang Gila di Balik Tren Buku

ZonaKamu - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Orang-orang Gila di Balik Tren Buku - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Sejujurnya, saya memang tidak terpengaruh tren. Kalau memang saya merasa tidak ‘sreg’ dengan suatu genre, saya tidak menulis genre itu meski sedang menjadi tren besar, bahkan meski telah ada penerbit yang jelas-jelas meminta pada saya.

Tetapi sampai sebegitu pun, saya tetap berupaya untuk dapat memperhitungkan bahwa naskah yang akan saya tulis bisa diterima penerbit, agar saya tidak hanya membuang-buang waktu percuma.

Jadi, di sinilah problematika kita. Dari sudut pandang penerbit, mereka tidak ingin merugi karena menerbitkan buku yang meragukan pemasarannya. Sementara dari sudut pandang penulis, mereka tidak ingin membuang-buang waktu untuk menulis naskah yang kemungkinan besar sulit diterima untuk diterbitkan. Dua sudut pandang ini, yang satu melibatkan uang dalam jumlah besar, sedang yang satu melibatkan waktu dan pikiran dalam jumlah besar.

Penerbit tak ingin rugi biaya, penulis tak ingin rugi waktu dan pikiran.

Ada kisah tentang seorang penulis yang benar-benar ‘kasihan’. Saya tidak bisa menyebutkan namanya. Tetapi, yang jelas, penulis ini sangat ulet, dan sangat mencintai bidangnya. Sebagai bentuk kecintaan pada bidang yang ia geluti, ia menulis naskah yang ia harapkan dapat diterbitkan menjadi buku.

Karena seorang akademisi, ia tidak sembarang dalam menulis naskahnya. Dia melakukan riset dan penelitian selama empat tahun untuk menulis naskah itu, dan untuk itu pula ia telah mengeluarkan biaya yang cukup besar. Ketika akhirnya naskah selesai dan ia bawa ke penerbit, si penulis nyaris pingsan karena mendengar jawaban pihak penerbit.

Si penerbit meragukan pemasaran naskah yang dibawa si penulis. Secara isi, naskah itu memang hebat. Tetapi secara pemasaran, naskah itu amat meragukan. Sebagai jalan tengah, penerbit itu menawarkan sistem jual putus untuk naskah itu—agar penerbit bisa menerbitkannya secara “mencicil” sembari menunggu respons pasar.

Yang menjadi masalah, harga jual putus yang ditawarkan penerbit itu lebih kecil dari biaya yang telah dikeluarkan si penulis dalam proses penulisan dan penelitian atas naskahnya. Ini ironis, sekaligus problematis. Tetapi ironi dan problem semacam inilah yang hingga kini masih menghinggapi dunia perbukuan kita.

Karenanya, yang ikut bertanggung jawab atas nasib dunia perbukuan di Indonesia seharusnya bukan hanya penulis, bukan hanya penerbit, bukan hanya para aktivis perbukuan, tetapi juga pemerintah. Pemerintah, mau tak mau, harus ikut bertanggung jawab jika menginginkan gairah membaca dan keasyikan literasi bisa tumbuh dan terus terjaga di negeri ini.

Apa yang harus dilakukan pemerintah? Saya tidak mau mengajari, karena mereka telah memiliki banyak ‘petugas’ yang tentunya memiliki kompetensi lebih baik.

Karena saya hanya seorang penulis, maka saya lebih suka menujukan catatan ini untuk sesama penulis. Sebagai penulis, kita tentu menginginkan naskah kita bisa diterima penerbit, berhasil diterbitkan, dan syukur-syukur juga bisa bestseller. Itu impian semua penulis yang “waras”.

Tetapi, kebanyakan penulis yang “waras” sayangnya tidak terlalu berhasil. Untuk mencapai keberhasilan besar, kadang-kadang, kita juga sesekali perlu “gila”. Masih ingat kisah Moammar Emka dan Raditya Dika di atas? Kesuksesan besar mereka terjadi karena diawali ‘kegilaan’ dan ‘kenekatan’, yang untungnya juga menemukan penerbit yang tepat.

Di Indonesia ini, berapa banyak jumlah penulis? Tak terhitung, banyak sekali! Tetapi berapa yang bisa mencapai keberhasilan besar? Jujur saja, lebih banyak penulis yang miskin daripada penulis yang kaya. Ukuran finansial memang bukan ukuran mutlak untuk menilai kesuksesan seseorang, tetapi itu merupakan ukuran yang paling mudah dilihat.

Jadi, kita, para penulis, memang sesekali perlu ‘gila’ jika memang menginginkan kesuksesan besar.

Jika kita hanya mau mengikuti arus tren dan menjadi penulis yang ‘waras’, maka nasib kita akan terus sama seperti kebanyakan penulis di negeri ini, yang berharap jadi penulis profesional, tetapi tidak yakin untuk benar-benar hidup dengan menulis.

Jika kita hanya mau menulis sesuai dengan tren yang sedang beredar, maka kita tak jauh beda dengan kebanyakan penulis yang terkenal mendadak karena tren yang menaik, tapi segera dilupakan ketika tren telah menurun.

Harap dicatat, saya tidak menyatakan bahwa kita tidak boleh mengikuti tren. Kalau kita memang mau dan mampu mengikuti arus tren, no problem, lakukan saja. Tapi jangan gantungkan nasib hanya pada tren. Itu cara yang amat riskan untuk menggantungkan nasib atas sebuah profesi. Lebih dari itu, para penulis yang hanya mau mengikuti tren, kebanyakan mengalami nasib yang ‘tragis’.

Ini sama sekali tidak bermaksud menakut-nakuti. Ketika tren teenlit melanda Indonesia dan melahirkan banyak penulis baru, kenyataan itu memang sungguh menyenangkan, karena gairah literasi di negeri ini meningkat pesat. Tetapi, kemudian, ketika tren teenlit memudar, ke mana para penulis baru itu?

Lalu muncul booming novel islami. Penulis-penulis yang tadinya menulis teenlit, mencoba mengikuti tren untuk juga menulis novel islami. Apa yang terjadi? Para penerbit sudah mengenal satu dua nama para penulis ini, dan mereka cenderung tidak mau menerima naskah mereka.

Mungkin para penerbit itu berpikir bahwa seorang penulis teenlit tidak bisa begitu saja ‘hijrah’ menjadi penulis novel islami, karena di sini ada faktor pembaca yang ikut diperhitungkan.

Itu mungkin kenyataan yang pahit, dan tidak adil. Tetapi kenyataan semacam itulah yang terjadi. Ketika sebuah nama telah diidentikkan dengan suatu genre tertentu, maka nama itu akan kesulitan untuk masuk ke genre lain, khususnya lagi jika masing-masing genre saling ‘tidak nyambung’ (baca: berseberangan).

Selain itu, menulis dengan hanya berdasar pada tren seringkali menjadikan kerja menulis lebih berat. Mengapa? Karena kita harus berpacu dengan tren. Seperti yang sudah kita bahas panjang lebar di atas, tren tidak pernah abadi. Secepat ia muncul, secepat itu pula akan menghilang.

Karenanya, kalau kita memang mampu bekerja sesuai dengan irama tren, memang tidak masalah. Tetapi, jika kita tidak mampu mengikuti kecepatan iramanya, kita akan tertinggal.

Ketika novel islami mengalami booming, ada teman saya yang bermimpi menulis novel dalam genre itu, dengan harapan menjadi bestseller sekaligus dapat difilmkan. Selama satu tahun dia menggarap novelnya, dan kemudian membawanya ke penerbit yang biasa menerbitkan genre itu. Apa jawab penerbit itu? “Maaf, Mbak, novel islami sekarang sudah tidak laku.”

Teman saya kalah cepat dengan kecepatan naik turunnya tren. Tren berjalan secepat kilat, sementara kebanyakan kita melangkah dengan lambat. Dalam siklus tren, yang menang adalah yang datang lebih dulu, si pionir adalah sang raja.

Karenanya, kita tidak perlu memusuhi tren, tetapi juga jangan menggantungkan nasib kita hanya pada tren semata. Jika kita memang ingin menggantungkan nasib pada tren, maka jadilah pionir, jangan jadi follower. Jadilah yang pertama dalam tren itu, jadilah penciptanya! Dan, untuk bisa menjadi pencipta tren, kita harus ‘gila’.

Para pionir adalah orang-orang ‘gila’, pencipta tren dan fenomena adalah orang-orang ‘gila’. Begitu pula dengan dunia perbukuan, dengan tren perbukuan, khususnya di Indonesia. Pertanyaannya, sebanyak apa penulis dan penerbit yang cukup gila di negeri ini?