Misteri Villa Berdarah

26 Desember,
tujuh hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...


Kantin kampus siang itu tak terlalu ramai. Ada cukup banyak mahasiswa yang tidak masuk kuliah, mungkin masih merayakan natal kemarin. Ricky nampak tengah menikmati es buah di kantin sambil berbincang-bincang serius dengan Nirina, kekasihnya.

“Kamu sudah ngomong sama papamu, soal rencana kita?” tanya Nirina.

“Belum,” jawab Ricky. “Papaku belum juga pulang sampai tadi malam. Tapi tidak usah khawatir. Papaku pasti mengijinkan kita untuk menggunakan villa itu.”

Nirina menyendok seiris buah dari dalam gelasnya, kemudian mengunyahnya. “Aku sudah ingin menikmati malam tahun baru yang lain dari biasanya,” katanya kemudian.

“Kamu akan mendapatkannya di villa itu, Nir,” sahut Ricky. “Di sana suasananya begitu hening, tenang, dan sepi.”

“Juga dingin?”

“Ya, bahkan lebih dingin dibanding Puncak.”

Nirina tersenyum. “Aku harus bawa selimut yang tebal.”

Ricky membalas senyum itu. “Aku yakin kamu tidak akan membutuhkannya.”

Saat tangan Ricky nampak menyentuh jemari Nirina, sepasang mata memperhatikan mereka tanpa berkedip.

Ricky dan Nirina tak menyadarinya.

***

Beberapa mahasiswa terlihat keluar dari pintu ruang perpustakaan, bertepatan dengan langkah Jefry dan Renata yang memasuki pintu utama perpustakaan itu. Setelah mengisi buku tamu, keduanya langsung hilang di antara rak-rak buku tinggi yang berada di sana.

Mereka kini asyik berkutat di deretan rak buku-buku sejarah dan biografi para tokoh dunia. Ada tugas kuliah untuk meresensi kisah sejarah dan biografi tokohnya.

“Siapa yang akan kamu resensi, Ren?” tanya Jefry sambil meneliti judul-judul buku yang terjajar rapi di rak.

“Belum pasti. Mungkin Alexander The Great...atau Napoleon,” jawab Renata. “Kamu?”

Jefry mengambil sebuah buku dari rak di hadapannya. “Mahatma Ghandi.”

“Kamu serius?” tanya Renata sambil tersenyum.

“Ya, kenapa tidak?”

“Aku tidak pernah mengira kalau kamu tertarik dengan Ghandi.”

“Aku tidak tertarik dengan ajarannya. Aku tertarik untuk meresensinya,” jawab Jefry sambil nyengir.

Renata tertawa. Membayangkan Jefry yang suka berantem itu membaca ajaran ahimsa-nya Ghandi benar-benar seperti sebuah anekdot yang konyol.

“Oh ya, Jef, acara tahun baru kita tidak ada perubahan?” tanya Renata kemudian.

“Sepertinya iya,” jawab Jefry sambil meraih satu lagi buku dari rak. “Teman-teman sudah bersepakat untuk menikmati malam tahun baru di villanya Ricky.”

“Sebenarnya aku kurang setuju, Jef. Aku masih menyukai menikmati malam tahun baru di sini, dengan terompet dan kembang api...”

“Kamu akan menyukainya kalau kita sudah sampai di sana,” potong Jefry dengan senyum maut yang selalu mampu meluluhkan hati pacarnya itu.

Renata pun membalas senyum itu. “Kamu yang pasti akan menyukainya!”

Jefry tertawa. “Kita akan sama-sama menyukainya, percayalah.”

“Kamu pernah kesana, Jef?”

“Kesana kemana?”

“Ke villa milik Ricky itu.”

“Belum,” jawab Jefry. “Tapi kata Ricky, daerah tempat villanya itu sangat sejuk dan udaranya masih sangat segar. Di dataran tinggi, kamu tahu sendiri bagaimana murninya udaranya. Itulah mengapa teman-teman semua bersepakat untuk kesana. Kita semua sudah waktunya menghirup udara yang segar kembali.” 

“Di sana pasti dingin,” kata Renata.

“Dingin, juga hening. Pokoknya jauh berbeda dengan di sini yang bising dan penuh polusi.”

Renata seperti akan mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba dia mendapati sepasang mata yang tengah memperhatikannya dari balik rak di hadapannya. Dia baru saja mengambil sebuah buku tebal dari rak itu dan dia pun baru menyadari bahwa ternyata ada orang lain yang berada di dekat mereka, di balik rak buku di hadapan mereka...

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (7)