Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah dan Fakta di Balik Bisnis Buku di Indonesia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

“Konsumenku semakin bertambah. Khususnya [karena] yang pernah kuliah di UI dan balik ke daerah lagi dan mengajar, selalu merekomendasikan [untuk] membeli buku di Cak Tarno. Mungkin itu pentingnya jaringan,” kata Tarno. 

Kios buku seperti milik Cak Tarno juga kerap didatangi pembeli karena ia tak sekadar menjual buku. Jangan bayangkan ritual seperti di toko buku besar di mana pembeli kerap hanya berhasil menemukan lokasi judul buku lewat pencarian elektronik, karena pelayan toko tak akrab dengan judul-judul buku yang dijualnya. 

Tak hanya langsung bertanya di mana letak buku tertentu diletakkan, calon pembeli bahkan bisa meminta pendapat buku apa yang cocok untuk referensi tugas kuliahnya. Sebab, Cak Tarno terbiasa membaca buku. Sejak dulu, kios Tarno kerap dijadikan tempat diskusi tema-tema kebudayaan dan filsafat. Ia bangga bahwa pelanggannya kerap mempromosikan tokonya. 

“Kalau datang ke UI nggak mampir ke Kios Cak Tarno terkesan belum afdol, itu kata beberapa teman dari Ambon. Itu bukan saya yang bilang lho,” ujarnya. 

Selain kios offline, Tarno juga melayani pembelian jarak jauh. “Saya berjualan buku berbasis silaturahmi,” katanya. 

Pelanggannya yang sudah kembali ke daerahnya masing-masing masih kerap membeli buku. Tarno kerap melayani pembeli dari pelbagai daerah yang jauh dari Jakarta, seperti Ternate, Papua, dan Kupang. 

Selain Tarno, ada pula Eka di Yogyakarta yang memiliki toko buku sekaligus berjualan secara online. Seperti Tarno, Eka juga merupakan pedagang buku yang tak hanya akrab dengan pelanggan, tetapi juga dengan buku yang dijualnya. Pembeli bisa bertanya buku apa yang layak dibaca, dan Eka akan merekomendasikannya. 

“Penjual buku harus cerdas. Maksud saya, [harus] membaca buku. Itu akan berpengaruh saat membaca pasar. Misal ketika Marjin Kiri menerbitkan naskah milik Sepulveda, kita tahu itu buku bagus. Dan tidak banyak naskah-naskah Amerika Latin diterjemahkan. Maka, apa alasan untuk tidak membeli [secara] cash? Toh kita juga tahu itu karya yang bagus,” papar Eka, yang kemudian menambahkan bahwa dia kerap membeli tunai—bukan konsinyasi—untuk sebagian judul buku yang hendak dijualnya. 

Eka, yang setahun belakangan juga membangun penerbit buku sastra bersama tiga temannya, juga menyatakan tren penurunan penjualan tak terjadi pada bisnisnya. Meski tak memberi angka pasti, Eka mengaku penjualan bukunya meningkat terus sejak mulai berbisnis pada 2013. Pada 2015, angkanya bertambah lagi karena saat itu ia mulai menjual sendiri terbitan dari penerbitan yang dimilikinya: OAK dan EA Books. 

Karena Eka juga punya penerbitan, kebanyakan pembeli yang menginginkan buku terbitannya akan mengontak Eka secara langsung. “Kontrol ada di pedagang alternatif, karena bukunya tidak ada di toko,” katanya. 

Dengan menjual buku terbitannya sendiri, Eka mengaku bisa mendapat margin keuntungan lebih besar dibanding dengan hanya menjual buku terbitan orang lain. Kala menjual buku terbitan luar, Eka maksimal mendapat untung 15-20 persen harga buku, sebab ia juga berbagi keuntungan dengan pembeli, melalui pemberian diskon. Tentu jumlah itu berlipat saat ia menjual terbitannya sendiri, karena ia juga mendapat “jatah” keuntungan penerbit. 

Sebagai penerbit maupun sebagai penjual, Eka juga merasa diuntungkan oleh cara penjualan online, sebab cara ini memungkinkan penerbit alternatif bertransaksi langsung dengan reseller dan pembeli tanpa memerlukan distributor. Ia optimistis cara penjualan ini lama-lama akan memunculkan toko-toko buku kecil di tempat-tempat lain. 

Eka mengumpamakannya dengan minimarket: “Minimarket secara volume kalah dengan mal atau toko swalayan besar. Tapi mereka tersebar di mana-mana, secara cashflow tentu jadi imbang dengan swalayan.” 

“Kalau kelak toko alternatif walau kecil berlipat ganda, otomatis penerbit akan menaikan oplah produksinya. Jika semua berjalan dalam pola dan skala yang sehat, tak ayal akan bisa naik haji bersama,” lanjutnya, setengah bercanda. 

Maksud Eka, jika semakin banyak penjual buku yang langsung berhubungan dengan penerbit dan memotong jalur distribusi, maka penerbit dan penjual bahkan pembeli bisa sama-sama untung. 

Dengan logika yang Eka sampaikan, menciutnya penjualan buku di toko buku besar seperti Gramedia bisa sedikit terjelaskan. Saluran-saluran perdagangan yang dibuat orang-orang seperti Eka dan Cak Tarno-lah yang membuat pilihan konsumen bertambah. Mereka tak harus selalu ke toko buku yang mapan untuk membeli buku. Jaringan penerbit, pedagang, dan pembeli yang kemampuannya relatif terbatas, jika terus bertumbuh, bisa seperti kisah si kecil Daud yang berani melawan raksasa Goliat.