Internet mengubah kebiasaan baca manusia pada abad ke-21. Jumlah pembaca buku menyusut, sebab pengetahuan sudah tersedia di internet. Demikian pendapat, bahkan hasil penelitian, yang kerap tampil di media. Ini belum mencakup perkiraan yang menyatakan pembaca buku fisik beralih ke medium digital atau ebook. 

Siaran IKAPI pernah memperlihatkan kecenderungan itu terjadi di Indonesia. Laporan toko Gramedia yang disampaikan pada ikatan penerbit itu menunjukkan tren menurunnya penjualan buku dari 2012 sampai 2014. Menurut data tersebut, penjualan dari 2012 ke 2013 berkurang sebanyak 1 persen. Akan tetapi, penurunan dari 2013 ke 2014 jumlahnya cukup besar. Buku yang terjual susut jumlahnya sebanyak 10 persen. 

Menurut IKAPI, meski data itu hanya dari jaringan toko buku Gramedia, tetapi “biasanya di toko buku lain tidak akan jauh berbeda, atau malah lebih buruk.” 

Benarkah data penjualan jaringan toko buku terbesar se-Indonesia itu bisa dianggap mewakili fakta pasar buku Indonesia secara keseluruhan? 

Tertolong Jalur Alternatif 

Krisis penjualan buku yang ditunjukkan data IKAPI di atas tak terjadi pada Mizan, grup penerbit kedua terbesar di Indonesia setelah Kelompok Kompas Gramedia (KKG). “Tiap tahun pertumbuhan Mizan meningkat. Dari tahun 2012-2015 tumbuh rata-rata 10 persen dan paling tinggi pertumbuhan di tahun 2014,” kata Dita Sekar Cempaka, yang bertanggung jawab pada bagian pemasaran digital dan humas Mizan. 

Selain menjual produk-produknya lewat toko buku konvensional seperti Gramedia, Gunung Agung, Toga Mas, Mizan juga mendistribusikan bukunya melalui banyak saluran alternatif seperti toko buku online. “Sudah ada sekitar 30 toko buku online yang bekerjasama dengan Mizan. Selain itu di beberapa tempat kami juga membuka beberapa Mizan Book Corner dan kerja sama dengan Carrefour untuk mendisplay buku-buku kami.” 

Dita mengakui, penjualan secara konvensional di toko seperti Gramedia mengalami turun naik, sedangkan buku yang terserap di pasar melalui jalur-jalur alternatif tadi mengalami kenaikan. 

Tak hanya Mizan, penjualan buku penerbit Marjin Kiri, penerbit kecil yang banyak menerbitkan buku analisis sosial-politik kajian kiri, juga meningkat. Pada 2014, buku terbitan Marjin Kiri terjual sebanyak 8.794 eksemplar, dan naik menjadi 10.877 eksemplar pada tahun lalu. 

“Penjualannya hingga April pada tahun ini bahkan sudah mencapai 4.960 buku,” kata Ronny Agustinus, direktur penerbit yang dua kali diundang Frankfurt Book Fair itu. 

Angkanya barangkali tampak sepele jika dibandingkan penerbit raksasa seperti Gramedia dan Mizan yang satu judul bukunya saja rata-rata dicetak minimal 3.000 eksemplar. Tapi bagi Marjin Kiri, angka itu sudah sangat bagus, melewati target. Sebab, satu judul buku Marjin Kiri biasanya hanya dicetak sebanyak seribu. 

Jumlah cetak buku ini memang perkara dilematis bagi penerbit kecil. Supaya biaya cetak dan keuntungan yang didapat bisa optimal, seharusnya Marjin Kiri mencetak minimal 3.000. Masalahnya, tidak mudah menjual buku-bukunya karena ceruk pasar relatif sempit. Menjual buku berjudul ‘Mencari Marxisme’, bagaimanapun tak semudah memasarkan ‘Mencari Kunci Rezeki yang Hilang’. 

Selain soal oplah, penerbit kecil juga terbebani jika masih ingin bukunya dijual di toko besar seperti Gramedia. Ditambah ongkos distribusi, menurut pengakuan Ronny, biayanya menghabiskan 52 persen harga buku. Jika ditambah pajak, angka itu membengkak lagi menjadi 62 persen. Distributor, dari keseluruhan angka itu, mengambil keuntungan sekitar 10 persen. Sisanya untuk toko buku. 

Tapi untuk benar-benar terlepas dari jaringan toko buku besar, Marjin Kiri juga belum sanggup. “Bagaimanapun, jangkauan mereka luas. Pencatatan laporan penjualan juga paling rapi.” Jadi, ada terbitannya yang diutamakan untuk didistribusikan di toko besar, misalnya ‘Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda’ karya Ernst H. Gombrich. Ada pula terbitan yang didistribusikan langsung ditambah beberapa reseller untuk buku yang segmen pembacanya lebih sempit seperti ‘Mencari Marxisme’ karya Martin Suryajaya. 

Dengan distribusi di toko buku besar, buku punya kans terserap pasar lebih banyak, tetapi keuntungan yang didapat penerbit maksimal hanya 12 persen harga buku. Kecilnya keuntungan itu membuat Marjin Kiri kesulitan mengakumulasi modal, sehingga jumlah terbitannya tak bisa lekas berkembang. Lain halnya jika buku itu dijual oleh toko buku alternatif yang bisa menyisakan keuntungan lebih besar. 

Tapi persoalannya itu tadi: bagaimanapun, penerbitnya masih perlu distribusi yang mencapai daerah jauh seperti Papua, dengan cara konvensional (bukan online). Itulah sebabnya Ronny tak bisa mengikuti beberapa penerbit lain yang sama sekali memutus hubungan dengan toko buku besar. Kecuali, jika di daerah-daerah terpencil sudah terbangun kios-kios penjual buku alternatif. 

Pasar Buku Alternatif Harus Ditumbuhkan 

Salah satu contoh penjual buku yang jadi alternatif pasar buku—juga kerap menjual buku-buku seperti terbitan Marjin Kiri—adalah kios Cak Tarno di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Tarno mulai mengenal dunia buku sejak 1997 saat bekerja di Yusuf Agency. Pada 1999, Cak Tarno membuka lapak sendiri, berjualan buku-buku bekas dan bajakan. 

Setelah berkenalan dengan seorang distributor buku sosial humaniora pada 2002, Tarno berhenti berjualan buku bajakan. Ia juga memutuskan untuk mengkhususkan kiosnya menjual buku-buku filsafat, budaya, serta cultural studies sampai sekarang. Selain masa-masa penggusuran kiosnya di daerah Stasiun UI sampai kepindahan ke dalam kampus pada pertengahan 2015, menurut Cak Tarno, penjualan buku di kiosnya sangat baik, tak ada kelesuan. 

Baca lanjutannya: Kisah dan Fakta di Balik Bisnis Buku di Indonesia (Bagian 2)