Laura Poitras menyebut dirinya ‘hati nurani’ Amerika Serikat dengan film-filmnya yang inovatif tentang pendudukan Irak, pengawasan melalui perangkat teknologi, dan tentang skandal farmasi terkait opioid, obat penghilang nyeri yang membuat orang kecandual massal. 

Dia bangga menyebut dirinya sebagai pembuat onar. "Saya pikir sangat penting untuk mendokumentasikan sejarah perjuangan," kata produser film itu kepada AFP, saat berkunjung ke Paris untuk mempromosikan filmnya, "All the Beauty and the Bloodshed". 

Film dokumenter yang memenangkan Golden Bear di Venesia dan bersaing di ajang Piala Oscar ini menceritakan kisah fotografer terkenal Nan Goldin dan perjuangannya untuk mempermalukan keluarga Sackler, pemilik perusahaan farmasi di balik obat penghilang rasa sakit Oxycontin, yang dituding sebagai penyebab kematian ratusan ribu orang. Goldin menjadi pecandu setelah ketagihan resep opioid. 

“Kami (AS) memiliki perusahaan dan keluarga yang telah mempromosikan obat yang membuat orang kecanduan dan menyebabkan overdosis massal, dan (pemerintah) tidak melakukan apa-apa, dan ada bukti selama dua dekade bahwa itu membunuh orang," kata Poitras, tentang filmnya tersebut. 

Ini bukan kali pertama Poitras menggarap dokumenter yang membongkar ‘kebusukan’ Amerika. Sebelumnya, ia membuat film Citizenfour, film dokumenter peraih Oscar yang berkisah tentang Edward Snowden, yang membocorkan skandal di NSA (Badan Keamanan Nasional AS). 

Ia juga menggarap kisah Julian Assange, pendiri Wikileaks lewat film Risk, serta My Country, My Country yang berkisah tentang pendudukan AS di Irak. Poitras melihat semua filmnya sebagai gugatan terhadap kekuatan AS dan pemerintahan negeri Paman Sam. 

Meski pekerjaannya terbilang berisiko, Poitras mengaku tidak terlampau khawatir. Menurut dia, Citizenfour yang berkisah tentang Snowden justru jauh lebih berbahaya. 

"Dalam kedua kasus (antara film All The Beauty and the Bloodshed dan Citizenfour) itu ada tanggung jawab yang sangat besar, tetapi dengan Edward Snowden saya benar-benar memegang nyawanya di tangan saya. Jika saya membuat kesalahan, dia bisa dipenjara atau lebih buruk lagi," tukas Poitras. 

Poitras mengaku peristiwa serangan 11 September 2001 telah mengkatalisasi kariernya. "Menyaksikan dominasi global, pendudukan serta penyiksaan dan hal-hal buruk lainnya, menurut saya ini keterlaluan, dan saya rasa saya perlu menanggapinya," kata perempuan yang lahir dari keluarga kaya di Boston ini. 

"Jurnalisme yang baik seharusnya membuat ‘onar’. Jurnalisme yang buruk adalah tentang mendapatkan akses ke kekuasaan," sindirnya. 

Meskipun potret Assange dalam film "Risk" 2017 jauh dari positif, dia mengatakan upaya untuk mengekstradisi Assange ke Amerika Serikat sebagai ancaman terbesar bagi jurnalisme saat ini. 

"Jika Anda menargetkan Julian, Anda menargetkan siapa saja yang melakukan pelaporan keamanan nasional dan membuka dokumen negara. Orang-orang pada diam (tentang kasus Assange). Eropa harus turun tangan dan memberikan suaka," tambahnya. 

Menurut Poitras, meskipun dilindungi oleh statusnya sebagai jurnalis, dia telah dimasukkan dalam daftar pantauan setelah merilis "My Country, My Country" pada tahun 2006, yang menyebabkan seringnya ia ditahan/dicekal untuk diinterogasi di bandara. 

Wartawan AFP bertanya, apakah menurutnya pemerintahan Biden masih mengawasinya? "Itu pertanyaan untuk pemerintah," kata Poitras yang kini menetap di Berlin, sambil tersenyum.