Seorang perempuan berambut panjang mengendarai sebuah sepeda motor trail, menyusuri gundukan-gundukan tanah, mencoba menyusul rangkaian gerbong kereta yang berjalan.

Perempuan itu lalu tiba-tiba loncat dari tebing tanah ke atas atap kereta tersebut. Ia tidak jatuh, ataupun goyah tangannya memegang setir. Ia terus melanjutkan aksinya untuk mengejar penjahat.

Adegan Police Story 3: Super Cop (1992) itu mungkin termasuk adegan ikonis dari seorang Michelle Yeoh, yang juga menarik minat banyak penonton di Indonesia sebagai salah satu negara yang sering menayangkan film itu setiap momen liburan tiba.

Michelle Yeoh bukan cuma menampilkan kekuatan luar biasa dari seorang perempuan yang menandingi laki-laki dalam setiap adegan laganya di berbagai film.

Ia yang terbukti dan terlihat sebagai seorang Asia--terutama Asia Tenggara--bagai menjadi perwakilan mimpi banyak orang untuk bisa sejajar dan dihormati oleh industri film global seperti Hollywood. Ia bagai Jackie Chan versi perempuan dan dari Asia Tenggara.

Yeoh pun sudah hilir mudik dalam proyek Hollywood semenjak pertama kali memutuskan terjun ke industri film pada 1983.

Nama Michelle Yeoh sudah sejak puluhan tahun lalu bukan cuma kebanggaan bagi Malaysia, negara asalnya, tapi juga Asia Tenggara, mengingat tak banyak insan dari kawasan ini yang dilirik dengan cukup hormat oleh Hollywood.

Beberapa judul filmnya pun bukan kaleng-kaleng. Misalnya film James Bond, Tomorrow Never Dies (1997) bersama idola Hollywood Pierce Brosnan, Crouching Tiger Hidden Dragon (2000) yang memenangkan Oscar 2001, Memoirs of a Geisha (2005), hingga yang anyar-anyar seperti Crazy Rich Asians (2018) dan Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021).

Namun penampilan Yeoh dalam Everything Everywhere All at Once (2022) memang berbeda. Dalam film itu, ia bukan hanya seorang perempuan dengan aksi laga silat luar biasa, atau pun calon mertua bikin trauma seperti Eleanor Young.

Dalam film garapan Daniel Kwan dan Daniel Scheinert alias 'duo Daniels' tersebut, Michelle Yeoh memerankan karakter yang sangat pas untuk kondisinya saat ini: seorang ibu tipikal dari Asia bernama Evelyn.

Evelyn selayaknya ibu-ibu Asia pada umumnya. Banyak dari mereka cenderung control-freak, bahkan kadang terasa seperti manipulatif, juga penuh drama. Namun mereka sejatinya adalah seorang petarung tanpa kenal lelah bila itu menyangkut anak dan keluarganya, persis peran laga yang selama ini dimainkan Michelle Yeoh.

Yeoh pun memainkan peran Evelyn dengan begitu maksimal, bahkan mungkin Michelle Yeoh bekerja jauh lebih keras dibandingkan nomine Best Actress lainnya dalam Oscar 2023.

Mungkin terkesan hal itu terlalu mendramatisir. Namun bila dilihat konsep cerita Everything Everywhere All at Once secara mendalam, pujian untuk Yeoh sebenarnya tak ada apa-apanya.

Dalam film itu, para pemain dan kru dituntut untuk bekerja jauh lebih keras dari film fantasi lainnya. Para aktor mesti memainkan karakter yang berganti-ganti dengan spektrum yang cukup ekstrem hanya untuk satu adegan.

Mereka bukan hanya harus konsentrasi menjadi karakternya, tapi juga menampilkan sentuhan komedi tanpa harus membuat film ini menjadi film lawak.

Sedangkan Michelle Yeoh dan Ke Huy Quan, mereka mendapatkan tuntutan lebih untuk beradu laga. Tentu saja, Michelle Yeoh diyakini melakukan adegan laga tanpa menggunakan stuntman meski usianya sudah kepala empat.

Sehingga bila dilihat secara objektif, Michelle Yeoh bagai mengambil peran berbagai genre dalam satu karakter, mulai dari drama, laga, hingga komedi. Tentu itu bukanlah pekerjaan mudah, bahkan untuk aktris muda yang masih penuh tenaga.

Butuh lebih dari sekadar fisik yang fit untuk bermain karakter Evelyn. Karakter itu butuh pengalaman laga, pengalaman drama, serta yang terpenting adalah rasa bagaimana menjadi seorang ibu yang berdarah Asia.

Hanya mereka yang berdarah Asia, dibesarkan oleh seorang ibu Asia, atau mereka yang memiliki anak, yang bisa memahami palung emosi Evelyn yang begitu kompleks dan rumit. Bahkan hanya untuk sekadar mengungkapkan dan membuktikan rasa cinta kepada anak.

Mungkin hal ini akan sulit dipahami oleh mereka yang dari Barat. Mereka mungkin akan sulit memahami mengapa sebagian ibu dari Asia begitu berat mengatakan "ibu sayang kamu" secara lisan, dan memilih untuk memasak makanan setiap harinya sambil berteriak "makan dulu!".

Atau, mengapa banyak ibu dari Asia rela mengorbankan perasaannya untuk mengomeli anaknya sendiri, hanya karena tak ingin sang anak melakukan hal bodoh seperti yang mereka pernah lakukan.

Seperti yang tergambar dalam Evelyn di Everything Everywhere All at Once, bahasa cinta seorang ibu tidak bisa didefinisikan sebagai hal yang sederhana dan Michelle Yeoh jelas bisa menyampaikan hal tersebut.

Seperti dalam pidato kemenangannya di Oscar 2023 atas kategori Best Actress, empat dekade sejak ia berakting depan kamera, Michelle Yeoh menegaskan peran penting seorang ibu di mata insan Asia.

"Semua ibu di dunia ini, karena mereka adalah pahlawan sejati. Dan tanpa mereka, kita tidak mungkin berada di sini malam ini," kata Michelle Yeoh.

Namun lebih dari sekadar peran sebagai seorang ibu, Michelle Yeoh adalah bukti bahwa insan--terutama perempuan--dari Asia Tenggara mampu mewujudkan mimpi sejauh menyeberangi Samudera Pasifik dan berdiri di atas podium ajang tertinggi dunia film, meski butuh waktu bertahun-tahun.

"Untuk semua anak laki-laki dan perempuan yang terlihat seperti saya dan menonton malam ini, ini adalah bukti nyata dari sebuah harapan," kata Michelle Yeoh.

"Ini adalah bukti bahwa mimpi memang menjadi kenyataan. Dan ladies, jangan biarkan siapa pun mengomentari kalian bahwa kalian sudah melewati masa jaya. Jangan pernah menyerah." lanjutnya.

Michelle Yeoh, you are truly Asia.