Diciptakan sebagai buah dari disertasinya untuk memperoleh gelar PhD dari Friedrich-Alexander University dengan bantuan maestro ilmu audio Jerman bernama Dieter Seitzer, Karlheinz Brandenburg membangun mp3 melalui disiplin bertajuk "psychoacoustics (psikoakustika)", sains di balik bagaimana manusia mendengarkan suara. 

Lewat ilmu tersebut, diketahui bahwa telinga manusia tidak berfungsi seperti mikrofon. Sebaliknya, telinga merupakan organ adaptif yang telah ditentukan "invisible hand". Pertama, fungsinya untuk mendengar dan menafsirkan bahasa dari suara yang diterima. Kedua, mengaktifkan sistem peringatan dini secara otomatis apabila suara yang diterima terlalu kencang. Artinya, dalam menginterpretasi suara, terdapat ragam detail audio yang tak diproses telinga. 

Sebagai contoh, siapa pun dapat membedakan dua suara simultan yang dipisahkan oleh setengah nada atau lebih. Tetapi, lewat pengetahuan ini, dengan mendekatkan kedua suara tersebut dalam tala atau tinggi nada (pitch), pendengar dapat dikelabui untuk percaya hanya mendengarkan satu suara. 

Sebelum Brandenburg mengembangkan mp3, dunia audio digital hampir sepenuhnya didistribusikan via CD. Barang ini mengemas hasil konversi sinyal analog dari audio menjadi sinyal digital yang terangkum dalam bentuk bit atau digit binari. Masalahnya, dalam CD sinyal digital dari sedetik suara stereo, misalnya, membutuhkan porsi penyimpanan lebih dari 1,4 juta bit. 

Brandenburg, didorong kemunculan dunia baru bernama internet, ingin mengerdilkannya menjadi hanya 128.000 bit. Terlebih, kecepatan koneksi menjadi kendala besar apabila audio digital yang termuat dalam CD ingin diunggah ke dunia baru itu. Maka, berlandaskan pengetahuannya tentang psikoakustika serta didukung konsep dunia teknologi bernama "data compression," mp3 dikembangkan. Hebatnya, bukan hanya mengecilnya ukuran bilah (file), kualitas audio pun terjaga. 

Secara mendasar, keberhasilan mp3 mengerdilkan porsi penyimpanan dengan tetap mempertahankan kualitas terjadi melalui dua langkah. Pertama, dalam mp3 terdapat algoritma berupa bilah dari sinyal audio analog yang telah dikonversi menjadi digital dikodekan atau di-incode dalam bentuk lebih ringkas. Ini dengan mengeliminasi ragam detail yang dianggap tak penting atau dianggap dapat dimanipulasi. Hasilnya, kebutuhan bit jadi mengecil. 

Kedua, proses sebaliknya terjadi. Pengkodean itu diurai atau di-decode, memerintahkan algoritma menata ulang audio mirip seperti aslinya (sinyal analog). Dalam kompresi ini, terdapat ragam detail audio (dari sinyal analog) yang hilang alias kerja mp3 dapat dianggap sebagai "lossy" karena bilah yang dihasilkan tak sesuai/persis dengan aslinya. 

Namun, lewat algoritma mp3 yang telah dibumbui psikoakustika, ragam detail yang telah dimusnahkan itu dibuat seakan-akan tetap ada, dengan memanipulasi sinyal audio yang dianggap penting (yang telah dikodekan). Hasilnya, kualitas audio mp3 tak berbeda jauh dengan CD—format yang dianggap "lossless" karena berhasil mempertahankan ragam detail sinyal analog yang dikonversi menjadi sinyal digital. 

Dalam menganalogikan audio sebagai teks/tulisan/buku, CD mengutip atau meng-copy paste tulisan, sementara mp3 melakukan parafrasa teks. CD menyodorkan konversi digital buku persis seperti aslinya, sementara mp3 memberikan esensi/inti dari buku yang telah dikonversi ke bentuk digital, buah dari kompromi berupa kompresi yang dilakukan.