Rasmus Paludan, politikus dari partai sayap kanan jauh Stram Kurs, sebenarnya bukan siapa-siapa di Swedia. Dia tidak punya kuasa apa pun atas institusi pemerintahan di sana. Dia bahkan sebenarnya asal Denmark—akun Instagram-nya bernama Law Lord of Denmark alias 'Penguasa Hukum Denmark'. Kebetulan saja bapaknya berkewarganegaraan Swedia, sehingga dia berhak menggenggam dokumen paspor yang sama. 

Kendati demikian, Paludan suka sekali bikin kehebohan di Swedia. Ulah terbarunya bahkan bikin muslim seluruh dunia marah: membakar Al-Qur'an di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm. 

Menurut Paludan, aksinya sudah dapat izin dari kepolisian Swedia dan merupakan praktik “kebebasan berekspresi” yang harus dihormati oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Mengapa Erdogan? Sebab pemerintahannya selama ini dianggap telah mengekang dunia pers. 

Paludan sepertinya ingin terlibat memanaskan sentimen anti-Turki di Swedia sebab relasi kedua negara itu tidak sedang baik-baik saja. Penyebabnya adalah Turki dianggap menyabotase upaya Swedia untuk bergabung dengan aliansi pertahanan NATO. Tudingan itu muncul mungkin karena selama ini Stockholm melindungi aktivis Partai Buruh Kurdistan (PKK) yang dikategorikan sebagai grup teroris oleh Ankara. 

Beberapa hari sebelum Paludan beraksi, demonstran pro-Kurdistan sudah turun ke jalanan Stockholm sembari mengarak boneka Erdogan yang posisinya terbalik—merujuk pada adegan hukum gantung. 

Paludan sendiri adalah orang yang islamofobia sejak lama. Pada Agustus 2020, ia dideportasi dari Swedia karena dikhawatirkan bakal bikin rusuh dengan pidato yang anti-Islam. Pendukungnya di kota Malmö tidak mundur dan meneruskan aksi pembakaran Al-Qur'an. Akibatnya, terjadi bentrok dengan massa kontraprotes. 

Pada April 2022, kerusuhan kembali pecah di Malmö, juga Stockholm dan kota-kota kantong imigran yang jadi sasaran lokasi pembakaran Al-Qur'an oleh Paludan. 

Kejahatan yang berakar dari kebencian terhadap komunitas imigran keturunan Arab atau Afrika—yang kerap diasumsikan beragama Islam—sebenarnya bukan hal baru di Swedia. Kasus perusakan masjid, misalnya, rutin diberitakan seiring gelombang imigran menyapu Benua Biru pada 2015-2016. Sebelum itu, sepanjang 2014, dilaporkan sedikitnya 13 masjid jadi target pembakaran. Intensitasnya meningkat pada 2017. 

Menurut temuan peneliti dari Uppsala University, sepanjang tahun itu sebanyak 38 majelis mengaku masjidnya diserang, dari mulai dibakar (termasuk percobaan pembakaran), dilempari batu, dirusak, sampai jadi sasaran grafiti. 

Masih pada 2017, masjid terbesar di Stockholm bahkan jadi target vandalisme sampai 22 kali. Dinding di bagian depan bangunan dicorat-coret dengan simbol swastika—kejadian kedua sejak 2014. 

Tak hanya bangunan utuh, pada 2019, ruang salat di Rumah Sakit Mölndal di kota Gothenberg juga jadi sasaran. Karpetnya dikotori dengan air berwarna cokelat, dan Al-Qur'an di lemari juga disobek-sobek. 

Motif ekstremis dan rasialis bahkan diduga mendorong seorang pemuda menusuk guru dan siswa berlatar imigran di sebuah sekolah di Trollhättan pada Oktober 2015. Empat orang meninggal, termasuk pelaku. Masih pada bulan yang sama, hanya dalam kurun seminggu, empat lokasi penampungan pencari suaka di berbagai kota hancur dibakar.