Salah satu fungsi penting media sosial adalah untuk berbicara atau untuk mengungkapkan/mengekspresikan diri. Ungkapan atau ekspresi diri itu bisa terkait isu-isu terkini atau hal-hal yang terkait politik, keyakinan, ideologi, dan lain-lain. 

Dalam hal itu, masing-masing media sosial punya aturan dan batas. Pengguna boleh menyampaikan ungkapan atau ekspresi apa pun, asal mematuhi aturan yang telah dibuat. Jika melanggar, risikonya bisa di-suspend hingga tidak bisa lagi mengakses media sosial tersebut.

Karenanya, berekspresi di media sosial tidak bisa seenaknya. Atau, dengan kata lain, memiliki batas jelas yang harus dipatuhi. Terkait hal itu, ada media sosial yang membebaskan penggunanya untuk mengekspresikan diri tanpa risiko di-suspend. Namanya Gab.

Konsep Gab sejatinya agak mirip Twitter, namun dengan sebuah perbedaan signifikan: di Gab, pengguna dapat bercuap-cuap soal kebencian tanpa dikenakan suspended. 

Larangan berekspresi di Gab adalah seputar ancaman kekerasan, terorisme, pornografi anak, revenge porn, hingga doxing. 

Platform yang didirikan Andrew Torba pada 2016 ini memang dibuat untuk mengakomodir kebebasan mengungkapkan pendapat hingga batas maksimum. 

Namun, justru karena kebebasannya tersebut, beberapa media seperti Salon menganggap Gab sebagai “Twitter khusus orang-orang rasialis”. Sementara Guardian menilai Gab sebagai “ruang yang penuh kebencian rasialisme dan teori konspirasi”.

Dengan karakteristik seperti itu, tak heran jika Gab ditolak oleh iOS dan Android. Para pengguna pun hanya dapat mengaksesnya dalam bentuk situs via peramban. 

Jumlah pengguna Gab, sebagaimana disebutkan oleh Venturebeat pada 7 Februari 2018, sebanyak 400.000 di seluruh dunia. Namun, jumlah sedikit tersebut terhitung loyal, dan karenanya Gab terus bertahan.