Misteri Villa Berdarah

Seperti yang dikatakan Edi tadi, kini laju mobil mereka menjumpai beberapa warung makan dan wartel di sisi kanan jalan yang mulai mendatar. Kini laju mobil mereka semakin melambat karena jalanan yang tidak rata. Penuh kerikil dan bebatuan yang berserakan.

“Sebentar lagi kita sampai,” kata Edi.

Tetapi Jefry seperti tak mendengar. Matanya masih memandangi kaca spion di sisi pintu mobilnya.

“Itu seperti mobilnya Rino,” gumam Jefry kemudian sambil masih memperhatikan kaca spionnya.

“Bagaimana, Jef?” tanya Edi yang masih bingung dengan maksud Jefry.

“Tadi aku seperti melihat BMW-nya Rino,” jawab Jefry.

“Dimana?”

“Di depan salah satu warung makan tadi.”

“Kamu yakin itu mobilnya Rino?”

“Yakin sekali sih tidak, cuma warna hitamnya itu yang membuat aku ingat kalau itu seperti mobil si Rino.”

“Kamu lihat nomor platnya?” tanya Edi penasaran.

“Tidak sempat,” gumam Jefry. “Tapi kira-kira siapa lagi yang mau bawa BMW ke tempat seperti ini kalau bukan si Rambo?”

“Gawat,” celetuk Edi, “kalau benar itu si Rino, berarti dia telah tahu kalau Cheryl dan Heru juga ke sini. Bakalan ada perang lagi, nih...”

Jefry memaki kesal. “Mengapa sih playboy brengsek itu harus membawa gacoannya si Rambo...?!”

Makian Jefry bertambah keras ketika merasakan laju mobilnya terasa tidak stabil lagi.

“Oh, shit!” makinya semakin kesal ketika menyadari kalau salah satu ban belakang mobilnya telah kempes tanpa sedikit pun angin yang tersisa.

***

Aryo bolak-balik melihat jam tangannya yang kacanya semakin buram dan merasakan sepertinya waktu begitu lambat berjalan. Mengapa bocah-bocah itu tidak sampai juga? Sejak pagi tadi, Aryo sudah gelisah menunggu kedatangan kawan-kawannya. Ricky menjanjikan bahwa paling lambat mereka akan sampai di villa itu pada jam dua siang ini. Tapi sekarang sudah hampir jam tiga dan bocah-bocah itu belum kelihatan juga batang mobilnya.

Jangan-jangan mereka ngerjain aku, pikir Aryo dengan putus asa. Aryo merasa bingung setengah mati berada sendirian di villa itu. Bukan hanya bingung dengan nasib hidupnya yang terasing di villa itu, tapi juga bingung kalau seandainya kawan-kawannya tidak jadi datang. Dia baru kali ini menginjak daerah itu dan dia sama sekali tak tahu bagaimana caranya harus pulang kembali ke Jakarta. Dia tidak tahu harus pakai angkutan apa, lewat jalan mana dan berapa ongkosnya. Kalau mereka memang benar-benar ngerjain aku, semoga saja mereka semua mampus disambar geledek!

Sekali lagi Aryo menengok jam di tangannya. Sudah pukul tiga lebih. Kemana bocah-bocah itu? Mengapa tidak datang juga? Sekarang Aryo merasakan perutnya seperti bergolak tak karuan. Semenjak tadi dia belum memasukkan apapun ke dalam perutnya selain hanya minuman kaleng sisa kemarin. Semua makanan yang dibelikan Edi kemarin sudah habis dan Aryo berharap kawan-kawannya cepat datang agar dia tidak mati kelaparan di villa itu. Tapi bocah-bocah itu sepertinya tersesat ke alam gaib, rutuk Aryo dengan marah. Mengapa sampai sekarang mereka belum datang juga...???

Tepat pukul setengah empat sore, ketika Aryo sudah menyimpulkan bahwa kawan-kawannya memang benar-benar tersesat ke alam gaib, terdengar laju mobil yang mendekati areal villa itu. Aryo yang masih duduk menunggu di teras villa kini menyaksikan mobil Ricky dan mobil Jefry nampak mendekati villa, dan Aryo pun segera membukakan pintu gerbang. Dua mobil yang paling dirindukan Aryo seumur hidupnya itu pun segera memasuki halaman villa.

“Mmme-mengapa bbba-baru ddatang...hhaa...?!” labrak Aryo dengan kejengkelan yang sengaja ditunjukkannya. Kawan-kawannya mulai turun dari mobil mereka.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (40)