Misteri Villa Berdarah

Mobil terus melaju dan kini mereka telah cukup jauh meninggalkan kawasan dataran tinggi yang tadi telah berkabut itu. Edi terus melajukan mobil sambil menikmati asap rokok, sementara Ricky masih duduk santai sambil menyandarkan kedua kakinya di atas dashboard.

“Rick, bagaimana kalau kita kerjain si Aryo?” cetus Edi tiba-tiba.

“Kerjain bagaimana?”

Edi memaparkan rencana spontannya, dan Ricky menanggapinya dengan tawa yang terbahak-bahak.

“Bisa mampus tuh anak,” kata Ricky kemudian sambil tertawa yang disambut tawa Edi di belakang setir.

Senja semakin turun, sementara mobil terus melaju.

***

30 Desember,
tiga hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...


Jefry merasa uring-uringan. Tadi malam Renata meneleponnya dengan sedikit emosi dan menyatakan bahwa dia tidak akan ikut bermalam tahun baru di villa milik Ricky. Renata terus saja mengatakan bahwa perasaannya tidak enak, dan sebaiknya mereka tetap menikmati malam tahun baru di kota saja, menonton konser musik, atau melihat film spesial malam tahun baru, membunyikan terompet di jalanan, dan lain-lain, dan sebagainya.

Jefry sudah mencoba menyabarkan diri dan meminta agar Renata menyadari bahwa dia hanya terlalu dikuasai oleh perasaannya sendiri, namun rupanya pacarnya itu benar-benar sudah tak mau mendengar argumennya lagi. Jefry pun akhirnya terpancing emosinya, dan komunikasi malam itu berakhir dengan ucapan kasar Jefry.

“Semua cewek memang sama saja!” rutuk Jefry tadi malam saat dengan jengkel mematikan teleponnya. “Mereka selalu dikuasai oleh emosi!”

Dan sekarang, saat memasuki kampusnya tanpa Renata, Jefry berharap pacarnya itu sudah mampu mendinginkan emosinya yang semalam meledak-ledak, dan Jefry pun berharap kalau Renata sekarang sudah mau menyadari bahwa dia terlalu dikuasai oleh perasaannya sendiri. Jefry tetap menginginkan bisa menikmati malam tahun baru bersama pacarnya. Dan dia serta kawan-kawannya yang lain sudah bersepakat untuk menggunakan villa milik Ricky untuk menikmati malam tahun baru itu. Apapun yang terjadi, Jefry tetap menginginkan bisa bersama kawan-kawannya, tetapi dia juga tak ingin berpisah dengan pacarnya.

Dengan muka sedikit suntuk, Jefry duduk sendirian di depan kelas Renata, menunggu pacarnya itu datang. Tadi pagi dia tak menjemputnya karena semalam Renata dengan jengkel mengatakan kalau dia tidak usah dijemput.

Mungkin itu hanya bahasa cewek yang menyatakan kejengkelan pada cowoknya, namun Jefry bukan tipe cowok yang bisa digertak dengan cara seperti itu. Kalau pacarnya mengatakan, “Besok tidak usah jemput aku!” maka Jefry pun benar-benar tidak akan menjemputnya! Dan sekarang hal seperti itulah yang terjadi, meski ini bukan yang pertama kali. Renata sendiri pun pasti sudah hafal tabiat Jefry.

Renata akhirnya muncul juga. Pasti dia bawa mobil sendiri, pikir Jefry sambil mencoba tersenyum saat pacarnya itu semakin mendekat ke arahnya.

Renata membalas senyum itu dengan kaku. Dan saat langkah kakinya sampai di depan Jefry, tangan Jefry segera menarik lengan Renata agar mendekat kepadanya.

“Sori atas tadi malam,” ucap Jefry. “Kamu sudah tidak marah lagi, kan?”

“Masih!” sahut Renata dengan ekspresi wajah galak, namun akhirnya tersenyum juga saat melihat Jefry tertawa karena ekspresi wajahnya yang mungkin lucu.

Renata lalu duduk di dekat Jefry. Kelasnya masih kosong, hanya ada beberapa mahasiswa yang telah masuk. Dosen yang akan mengajar juga belum datang.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (28)