Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Gus Dur, Berani Bersikap Beda Meski Sendirian - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Dalam Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya, terlihat jelas ikhtiar rezim untuk menjungkalkan Gus Dur dari kursi kepemimpinan NU. Kampanye menyingkirkan Gus Dur berlangsung intensif pada minggu-minggu menjelang muktamar. Gerakan ini dikenal sebagai Asal Bukan Gus Dur atau ABG. Sejumlah jenderal ikut membekingi, juga beberapa pejabat sipil. 

Gus Dur sendiri menyebut sejumlah petinggi ICMI terlibat dalam kampanye ini. Pada acara pembukaan muktamar, 1 Desember 1994, Soeharto diundang hadir. Tapi, dalam catatan Barton, Gus Dur mendapat tempat duduk di baris ketiga dari depan dan Soeharto tidak menyapanya secara resmi. 

Sepanjang acara, ratusan intel ditempatkan. Lebih dari 1.000 tentara berseragam hadir di pesantren yang diasuh KH Ilyas Ruhiat ini – hal yang jauh berbeda dengan muktamar-muktamar sebelumnya. 

Upaya ini gagal. Lewat pemungutan suara dalam beberapa putaran, Gus Dur tetap mampu menduduki kursi Ketua Umum PB NU. 

Salman Rushdie dan Ahmad Wahib 

Kasus buku Satanic Verses karya Salman Rushdie pun membuktikan keberanian cucu KH Hasyim Asy’ari itu dalam melawan arus. Rushdie menjadi sasaran kemarahan umat Islam di seluruh dunia. Bahkan, pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khomeini, menerbitkan fatwa mati untuknya. 

Gus Dur tenang-tenang saja. Dalam ulasan di majalah EDITOR edisi 18 Maret 1989, Gus Dur menulis, “Terlepas dari penghinaan sengaja Salman Rushdie, harus diakui, plot novelnya sangat orisinal, dan unik pula. Antara masa kini dan masa lampau dijalin begitu rupa, sehingga antara fakta dan khayal berbaur menjadi satu. Masih bisa dikenali, mana yang khayal dan yang faktual, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan.” 

Ia mengakui bahwa ada penghinaan yang dilakukan Rushdie tapi bersikap over-reaktif bukan menjadi pilihannya. 

“Saya tahu bukunya Salman itu menghina, main-main, dan saya betul-betul marah membaca buku itu. Tapi bagaimanapun juga hak mengatakan pendapat, itu sesuatu yang sangat berharga. Ini yang dijaga oleh Islam. Lho, kok tahu-tahu kita tanpa mengadilinya dengan tepat, langsung hukuman mati in absentia. Itu kan emosional saja,” kata Gus Dur menjawab pertanyaan jurnalis EDITOR dan dimuat kembali dalam buku Tabayun Gus Dur. 

Perihal buku, Gus Dur juga membela kehadiran Pergolakan Pemikiran Islam yang diangkat dari catatan harian Ahmad Wahib. Buku itu dinilai kontroversial karena banyak mengartikulasikan pandangan-pandangan yang berbeda dengan arus utama. Sejumlah kalangan bahkan minta buku tersebut dilarang. 

“Terus terang saja penulis tidak setuju kalau buku sepenting karya Ahmad Wahib di–‘lenyapkan’ begitu saja. Semangat merumuskan kembali jawaban-jawaban Islam terhadap tantangan hidup haruslah dipelihara, terlepas dari ekses-ekses yang umumnya bersifat peremehan arti pendekatan tekstual terhadap ajaran agama yang sudah mapan,” tulis Gus Dur di majalah TEMPO edisi 23 Januari 1982. 

Gus Dur berpendapat, buku Ahmad Wahib berhak hadir dalam kegiatan berpikir keagamaan kaum muslimin. Sejarah yang akan menentukan, apakah relevan atau tidak bagi kebutuhan umat. Tragedi atau kreativitas, biarlah ditentukan oleh perkembangan di kemudian hari, jangan dipaksakan sekarang. 

Pada 7 September 1940, Gus Dur dilahirkan sebagai sulung pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Perjalanan hidupnya menjadi inspirasi banyak orang, termasuk anak-anak muda. Meski barangkali tak terlalu banyak yang berani mengikuti jejaknya soal keberanian bersikap.