Banyak orang kebingungan mendefinisikan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Namun, atribusi “berani bersikap” layak disematkan kepadanya. Untuk itu, kilas balik perlu dilakoni untuk menjelaskan. 

Ketika kemarahan massa dalam kasus tabloid Monitor terus merambat menuju titik didih, ia memilih tak ikut gelombang tersebut. Dalam esai dua halaman di majalah EDITOR, ia menyatakan, pangkal masalah adalah kesembronoan Arswendo Atmowiloto dkk sebagai pengelola media dan kepekaan berlebih umat Islam dalam menanggapi. 

“Kesembronoan dianggap penghinaan dan reaksi keras ditampilkan. Kasus gila bertemu gila kasus, bagaikan api bertemu mesiu, meledaklah semuanya. Termasuk segala macam aturan kepatutan dan kepantasan,” tulis Gus Dur pada edisi 3 November 1990 tersebut. 

Gus Dur minim sekutu. Bahkan, sosok moderat seperti Nurcholish Madjid pun melontarkan kegusarannya. “You pull the carpet from under my table,” demikian konon Nurcholish berujar kepada Jakob Oetama, pimpinan tertinggi Kompas Gramedia Grup yang menaungi Monitor. 

Alkisah, Monitor edisi 15 Oktober 1990 menampilkan hasil jajak pendapat berjudul “50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca." 

Pada jajak pendapat ini, pembaca Monitor diajak memilih tokoh yang paling dikagumi dengan cara mengirimkan kartu pos ke redaksi. Hasilnya, Presiden Soeharto di peringkat teratas dengan 5.003 suara. Pada urutan berikut ada BJ Habibie, Sukarno, Iwan Fals, Zainuddin MZ, Try Sutrisno, Saddam Husein, Siti Hardiyanti Rukmana, dan Arswendo sendiri. 

Titik kontroversi adalah posisi ke-11 yang menempatkan Nabi Muhammad. Dari 33.963 kartu pos, hanya 616 kartu pos yang memilih Rasulullah sebagai sosok paling dikagumi. 

Api kemarahan segera tersulut. Unjuk rasa berlangsung di banyak kota. Pada 22 Oktober 1990, kantor redaksi Monitor di Jakarta dirusak para demonstran. Arswendo divonis lima tahun. Tabloid hiburan itu pun dibreidel. 

Gus Dur, yang kelak menjadi Presiden ke-4 RI, menyesalkan rangkaian peristiwa tersebut karena sejumlah kerugian harus ditanggung. Misalnya, mimpi tidak ada lagi pembreidelan dan tegaknya kedaulatan hukum buyar. Hal ironis, kata Gus Dur, kerugian utama justru diderita umat Islam. 

“Islam adalah agama perdamaian (dinus salam), yang muncul kini adalah citranya sebagai agama kekerasan. Islam adalah agama perbaikan (dinus silah), yang mencuat adalah tindakan pengrusakan oleh aksi sepihak dengan main hakim sendiri,” tulis Gus Dur. 

Menjauh dari ICMI 

Gus Dur juga menjadi minoritas saat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dibentuk pada awal Desember 1990. Menristek BJ Habibie menjadi ketua umum. Sejumlah sohib Gus Dur bergabung, seperti Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, atau Sutjipto Wirosarjono. 

Pria yang pernah kuliah di Mesir dan Irak ini enggan berhimpun. Kepada EDITOR edisi 22 Desember 1990, Gus Dur tidak hadir dalam acara pembentukan ICMI di Malang, Jawa Timur, karena adanya pembatasan nama-nama yang diundang. 

“Sepertinya hanya mereka yang 'Islam Mesjid' yang boleh masuk ICMI. Sementara, mereka yang disebut 'Islam Alun-alun' sama sekali tidak diajak. Baik sebagai eksponen, maupun pembawa makalah. Padahal, siapa orang Islam di Indonesia yang sekarang bisa bicara tentang kebudayaan dengan meninggalkan Umar Kayam atau Mochtar Lubis?” ujar Gus Dur. 

Bukan hanya absen dalam acara pembentukan. Selamanya Gus Dur “berseberangan” dengan ICMI. Belakangan ia malah mendirikan Forum Demokrasi, yang menurut banyak pengamat merupakan antitesa ICMI. 

Keputusan menjauh dari ICMI bukan tanpa risiko. Presiden Soeharto geram dengan manuver Gus Dur yang saat itu menjabat Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (NU). 

“Soeharto marah karena Gus Dur tidak mendorong anggota NU agar aktif di ICMI. Lewat ICMI-lah Soeharto mengkooptasi mereka yang militan mengkritiknya… Ia merasa jengkel karena hanya satu orang bisa menghalangi usaha terbaiknya merebut hati umat Islam,” tulis Greg Barton dalam Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. 

Baca lanjutannya: Gus Dur, Berani Bersikap Beda Meski Sendirian (Bagian 2)