Wenxiang Jiao, peneliti kecerdasan buatan pada Tencent AI Lab, dalam studi berjudul "Is ChatGPT a Good Translator?" (arXiv, Januari 2023), menyebut bahwa ChatGPT merupakan kecerdasan buatan berbentuk obrolan (chat) yang menjawab pertanyaan--juga mengakui kesalahan, menentang premis yang salah, dan menolak permintaan yang tidak pantas--sesuai alur obrolan dengan penggunanya. 

Kecerdasan buatan ini dibangun lewat GPT3 atau "model weights" alias bilah raksasa hasil dari mengunduh konten dari seluruh pangkalan data, seperti Wikipedia, Github, pelbagai jejaring sosial, gambar/foto di jagat maya, dll. Selanjutnya dipetakan ulang via algoritma ciptaan Google bernama Transformer ("T" dalam "ChatGPT" ataupun "GPT3") untuk meminimalkan kebutuhan media penyimpanan. 

ChatGPT dikategorikan sebagai Generative AI atau kecerdasan buatan yang dapat menghasilkan konten baru, yang berbeda dengan pelbagai kecerdasan buatan sebelumnya, yang operasinya lewat skema if-else. Dalam skema ini, kecerdasan buatan hanya memberikan jawaban jika pertanyaan yang diberikan sesuai dengan struktur if-else dalam pangkalan data yang dimiliki. 

Sebagai contoh, jika ditanya "apa itu garis khatulistiwa?" kecerdasan buatan akan mencari kata "garis khatulistiwa" sebagai pokok dari pertanyaan dengan bumbu "if" berbentuk kata "merupakan" atau "adalah". Setelah itu memberikan jawaban berupa, "garis khatulistiwa merupakan/adalah ..." Maka, jika bumbu "if" tak tersedia, kecerdasan buatan tak bisa memberikan jawaban. 

Sebaliknya, Generative AI tak membutuhkan "if". Generative AI dapat menghindari if-else, memahami makna pertanyaan dengan lebih baik untuk memberikan jawaban atau tak saklek dalam memahami pertanyaan dan bilah data sebagai sumber jawaban yang dimiliki. Terlebih, dalam kasus ChatGPT, penanggalan if-else dapat dilakukan karena kecerdasan ini dilatih dengan sistem Reinforcement Learning for Human Feedback. 

Selain GPT3, Transformer, dan Reinforcement Learning for Human Feedback, kepopuleran ChatGPT saat ini didukung atas keputusan OpenAI mengembangkan pelbagai kecerdasan buatan yang memiliki kemampuan berlainan. 

Sebelum menciptakan ChatGPT, OpenAI terlebih dulu mengembangkan DALL-E (gambar/foto), Jukebox (audio), Whisper (percakapan/dialog), dan GPT3 (teks). Ini sejalan dengan pendapat Rich Sutton, ilmuwan komputer di balik DeepMind. 

Dalam esai bertajuk "The Bitter Lesson" (2019), Sutton menyebut bahwa "lebih baik memiliki program yang lebih sederhana yang tahu cara belajar, berjalan di komputer yang cepat, dan menugaskannya untuk memecahkan masalah yang rumit untuk dirinya sendiri." Ini artinya lebih baik membangun kecerdasan buatan secara beragam dan berbeda-beda kemampuannya lebih dulu, alih-alih mengembangkan satu kecerdasan buatan utuh yang dapat melakukan segalanya. 

Dalam mengembangkan ragam kecerdasan buatan, tak seperti lima pesaingnya di dunia Generative AI, yakni Google (Google Research), DeepMind, Meta AI (Facebook), Runway, dan Nvidia, OpenAI memilih menerapkan konsep sumber terbuka (open source) bagi semua kecerdasan buatan yang dibuat. Ini membuat masyarakat dunia dapat membantu perkembangannya. 

Konsep ini memang tak hanya dilakukan OpenAI. DeepMind, misalnya, merilis kode-sumber mereka bernama AlphaZero. Namun, berbeda dengan DeepMind, OpenAI rela membuka "model weights" sebagai otak utama dari setiap kecerdasan buatan yang dikembangkan. Hasilnya, ragam kecerdasan buatan bikinan OpenAI lebih cepat berkembang yang akhirnya melahirkan ChatGPT. 

Belum Optimal 

Kerja ChatGPT, dengan pemetaan ulang ragam konten yang diunduh dari jagat maya untuk disajikan dengan memparafrasa ulang versi originalnya sebagai jawaban, tentu masih menghasilkan cela tersendiri. 

Saat ChatGPT diminta menjelaskan "what is Crowdfunding?", seperti dituturkan Karsten Wenzlaff dalam "Smarter than Humans?" (WiSo-HH Working Paper Series, No. 75 2022), AI terlalu menyederhanakan dan memilih sumber-sumber populer dalam memberikan jawaban. ChatGPT menjawabnya: "Crowfunding is method of raising money for a project or venture by soliciting small contributions from a large number of people, typically via internet." 

Wenzlaff menduga jawaban tersebut adalah parafrasa dari konten-konten SEO yang bertebaran di internet. 

Padahal, menurut Wenzlaff, rujukan terbaik untuk menjawab pertanyaan tertuju pada jurnal tahun 2012 yang ditulis Lambert Schwienbacher berjudul "Tapping the Right Crowd" (dianggap terbaik karena jurnal ini disitasi lebih dari 3.600 kali oleh para peneliti). 

Schwienbacher menyebut "Crowfunding involves on open call, mostly throught the Internet, for the provision of financial resource either in the form of donation or in exchange for the future product or some form of reward to support initiatives for specific purpose." 

Dalam menjawab pertanyaan, ChatGPT tak memberikan sumber (berupa tautan) dari mana parafrasa berasal, juga tak memberikan pilihan jawaban lain sebagai alternatif bagi pengguna dalam menentukan kelayakan jawaban. 

Wenzlaff menambahkan, setelah menguji ChatGPT dengan ragam pertanyaan, ChatGPT dianggapnya lebih baik dibandingkan kecerdasan buatan serupa (Google Assistant, Siri, Alexa). Namun, terkadang ChatGPT memberikan jawaban parafrasa yang mengada-ada. Dan karena tak mengaitkan sumber tautan, pengguna dapat terjebak dalam keterangan yang salah. 

Fakta ini diamini Yiqiu Shen dalam "ChatGPT and Other Large Language Models Are Double-edge Swords" (Radiology, 2022), Roberto Gozalo-Brizuela dalam "ChatGPT is Not All You Need" (arXiv, Januari 2023), dan Biyang Guo dalam "How Close is ChatGPT to Human Experts?" (arXiv, Januari 2023). Mereka mengungkap bahwa dalam ragam pertanyaan berbentuk permintaan saran, ChatGPT mengada-ada jawaban. Kemungkinan buah dari ketidaktransparan ChatGPT memetakan ulang konten-konten SEO. 

Maka, menurut para peneliti ChatGPT itu, untuk saat ini (sembari menunggu ChatGPT berkembang lebih baik), mesin pencari arus utama seperti Google dan Bing, misalnya, lebih layak digunakan dan diandalkan. Sebab, mereka memberikan kutipan plus tautan dari mana kutipan tersebut berasal sebagai jawaban dari kueri atau pertanyaan yang diberikan penggunanya. 

Namun, Bing keburu bernafsu dengan ChatGPT dan Google merespons kehadiran ChatGPT dengan merilis Bard.