Maraknya kejahatan terhadap komunitas imigran muslim di Swedia selama satu dekade terakhir sepertinya menunjukkan akhir kisah Swedia sebagai negara yang ramah pengungsi dan murah suaka. 

Awal kisahnya dimulai pada dekade 1930-an atau menjelang Perang Dunia II. Ketika itu orang-orang mulai bermigrasi ke Swedia, terutama para pengungsi Yahudi dari Jerman, negara-negara Nordik, dan Baltik. Penerimaan terhadap pengungsi semakin terbuka seusai perang, ketika Swedia menjadi negara sosial demokrat yang berorientasi pada kesejahteraan. 

Menurut James Traub di Foreign Policy, mereka mulai menganggap menerima pengungsi adalah “simbol komitmen nasional pada prinsip moral.” Para pengungsi memperoleh manfaat yang juga dirasakan warga biasa, dari mulai tempat tinggal, layanan kesehatan, pendidikan, sampai cuti melahirkan dan jaminan pengangguran. 

Badan Imigrasi Swedia memang meregulasi aturan imigrasi pada akhir 1960-an. Mereka mewajibkan pendatang yang hendak menetap punya tempat tinggal dan pekerjaan dengan keahlian khusus yang tidak dimiliki warga lokal. Namun, karena orang-orang dari negara Nordik dan pengungsi dikecualikan, tetap muncul aliran deras imigran terutama dari Finlandia dan Chili. 

Masyarakat Chili berbondong-bondong ke sana setelah terjadi kudeta militer oleh Jenderal Augusto Pinochet pada 1973. Syarat untuk menjadi warga Swedia pun diringankan, dari awalnya harus menetap 7 tahun terlebih dahulu jadi 5 tahun (dan 2 tahun untuk orang-orang Nordik). 

Memasuki pertengahan dekade 1980, Swedia menyambut pencari suaka dari Iran, Irak, Lebanon, Suriah, Turki, Eritrea, lalu diikuti pengungsi asal pecahan Yugoslavia pada dekade 1990-an. Eropa secara umum memang jadi tanah impian bagi orang-orang yang tidak lagi memiliki masa depan di tanah kelahiran. 

Gelombang besar pengungsi muncul lagi di sana pada 2015. Swedia lagi-lagi termasuk yang diminati. Kala itu, negara dengan 10 juta populasi jiwa tersebut menerima 1.600 pengajuan suaka per 100 ribu penduduk—rasio per kapita paling tinggi kedua di Eropa setelah Hungaria. 

Dengan sejarah tersebut, tidak heran jika sampai 2019, setidaknya 19,5 persen populasi Swedia atau sekitar dua juta orang dilahirkan di luar negeri. Persentase tersebut berada di urutan ke-6 dari 32 negara kaya raya OECD. 

Selain itu, pada akhirnya muncul pula pertanyaan dan keraguan di publik Swedia sendiri: apakah sumber daya negara bakal cukup untuk memenuhi kebutuhan pendatang yang sebagian besar tidak punya keahlian khusus dan berpotensi kesulitan terserap pasar tenaga kerja? Lalu, apakah mereka yang dianggap konservatif dapat menyesuaikan diri ke tradisi yang sekuler dan progresif? 

Jawabannya bisa dilihat dari hasil beberapa pemilu. 

Kebangkitan Sayap Kanan 

Sejak 1936, Swedia dinakhodai secara nonstop oleh kalangan progresif dari Partai Sosial Demokrat. Merekalah yang dipandang sudah berjasa membangun fondasi negara kesejahteraan. Namun ada awal pasti ada akhir. Sejak 1976, partai tertua dan terbesar ini beberapa kali harus duduk di bangku oposisi sementara kubu tengah-kanan berkuasa. Dalam lima pemilu terakhir sejak 2006, mereka hanya dua kali menjadi bagian dari pemerintahan. Itu pun hanya bagian dari koalisi dan minoritas. 

Seiring isu pengungsi mewarnai daratan Eropa dalam sepuluh tahun terakhir, partai sayap kanan jauh pembenci imigran yang sebelumnya dianggap remeh dan tidak laku justru mendulang popularitas. Itulah Sweden Democrats, didirikan tahun 1988 tapi baru pertama kali kebagian jatah kursi di parlemen Riksdag pada 2010. Kala itu mereka berhasil merebut nyaris 6 persen kursi. Pencapaiannya meroket jadi 13 persen pada 2014, kemudian 18 persen pada 2018—dua momen pemilu yang gencar membahas isu imigran. 

Baca lanjutannya: Kemelut Politik Swedia dan Nasib Imigran Muslim di Sana (Bagian 2)