Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Fakta-fakta di Balik PHK yang Dilakukan Banyak Startup - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Nasib sama juga dialami Bukalapak yang harus rela melihat harga sahamnya melorot ke angka Rp352 dari harga pembuka sebesar Rp850 per lembar saham. Padahal sebelumnya Bukalapak sempat perkasa di bursa saham dan unggul atas Bank Negara Indonesia (BNI) hingga Indofood CBP Sukses Makmur. 

Singkatnya, terjadi pembantaian besar-besaran di bursa saham terhadap pelbagai startup bertitel unicorn tersebut. Ini membuyarkan mimpi indah para startup setelah dimanja modal "bakar-bakar duit" lebih dari $32,6 miliar--data Crunchbase dengan menghitung pendanaan yang dibuka/disiarkan dari pelbagai kapital ventura. 

Kemudian terjadi "huge correction" yang akibatnya terjadi pemutusan hubungan kerja. Shopee tidak sendirian. Startup-startup besar berlabel unicorn pun tak luput dari hantaman ini. Uber, misalnya, melakukan PHK terhadap 3.700 karyawannya atau 14 persen dari total pekerja. 

Startup akomodasi dan wisata Airbnb telah mem-PHK 1.900 karyawannya atau sekitar 25 persen dari tenaga kerja perusahaan. Zenius, platform edukasi, mem-PHK 200 karyawan. LinkAja serta JD pun melakukannya. Bahkan Airy harus berhenti beroperasi secara total. 

Startup di segmen bisnis mana sesungguhnya yang paling terdampak pandemi? Dalam laporan untuk The New York Times, Kate Conger punya jawaban singkat: “sharing economy". 

Sharing economy merupakan konsep lama, yakni membagi aset secara peer-to-peer dengan transaksi yang dilakukan secara desentralisasi antarindividu. Sharing economy kini bertransformasi setelah "ditunggangi" sentuhan teknologi, dalam hal ini aplikasi. 

Dalam laporan Komisi Perdagangan Federal AS bertajuk "The 'Sharing' Economy Issues Facing Platform, Participants and Regulators" (2016) disebutkan bahwa sharing economy merupakan marketplace yang dikelilingi tiga pemain utama: platform (aplikasi), penjual, dan pembeli. 

Laporan tersebut menyatakan bahwa platform atau aplikasi berguna “untuk mempertemukan individu yang memiliki suatu barang dengan seseorang yang menginginkan barang tersebut”.
 
Pada waktu-waktu normal, ini tidak jadi soal. Namun, di masa pandemi, pertemuan antar pengguna platform atau aplikasi--baik yang menawarkan jasa maupun pengguna jasa--sukar dilakukan. Selama vaksin belum ditemukan, menjaga jarak fisik sangat perlu dilakukan. Ditambah lagi, pemerintah di banyak belahan dunia memberlakukan karantina wilayah. Masyarakat hanya diperbolehkan keluar rumah hanya untuk urusan-urusan esensial. 

Pemrogram Uber, Grab, Gojek, Airbnb, dan startup teknologi lainnya dapat bekerja dari rumah tatkala karantina dilakukan. Namun, pengemudi Uber, Grab, Gojek, atau akomodasi yang ditawarkan via Airbnb, atau pengantar makanan di FoodPanda, tidak akan dapat bekerja dari rumah. Pekerjaan mereka mengharuskan pertemuan langsung antara pemilik jasa dan orang yang membutuhkan jasa. 

Alhasil, transaksi jasa sukar dilakukan karena pandemi COVID-19. Mengutip Statista, pariwisata dunia diperkirakan jatuh dari $685 miliar di tahun 2019 ke $396 miliar di tahun 2020. Sebagaimana diwartakan Reuters, dunia penerbangan internasional kini kehilangan 1,2 miliar penumpangnya akibat pandemi. 

Platform sharing economy di bidang lain seperti Airbnb dan Airy yang mempertemukan pemilik akomodasi dengan konsumen, juga ikut terpukul. Secara keseluruhan, pada 2019 bisnis ride-sharing menghasilkan pendapatan total senilai $302 miliar bagi berbagai pemainnya di seluruh dunia. Pendapatan bisnis ride-sharing diyakini akan terjun ke angka $192 miliar karena pandemi Covid-19. 

Di dunia pariwisata, tempat Airbnb dan Airy serta OYO dan RedDoorz hidup, proyeksi pendapatan tahun 2020 diubah, dari $711 miliar menjadi hanya $447 miliar. Menurut Direktur Wedbush Securities Daniel Ives, dunia sharing economy atau yang acap disebut gig economy, bisnis ini akan kehilangan 30 persen pendapatannya dalam satu hingga dua tahun mendatang. Dengan kata lain, bisnis yang dipelopori Uber ini akan tertatih-tatih. 

Mengutip laporan AppJobs, platform komparasi aplikasi kerja yang melakukan survei pada 1.400 pekerja gig economy seperti pengemudi Uber yang terdampak pandemi Covid-19, 52 persen responden menyatakan sudah kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Yang paling menyedihkan, hanya 23 persen responden yang mengaku memiliki tabungan untuk bertahan hidup.