Resesi sudah hampir pasti terjadi pada 2023. Situasi ini pastinya sangat rumit, sebab tidak hanya melanda Amerika Serikat (AS) namun juga banyak negara lain di dunia.

"Bahkan sekarang kata-kata resesi bukannya tidak mungkin di Amerika Serikat," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Seminar Nasional Badan Keahlian DPR RI.

"Pada 2022 dan 2023, Eropa juga kemungkinan terjadi resesi," paparnya.

Indonesia tidak akan lepas dari risiko tersebut meskipun banyak pihak meyakini peluangnya sangat kecil. Tekanan tetap akan terasa, sementara besar atau kecilnya tergantung dari bagaimana pemerintah mampu memitigasinya.

Bank Mandiri dalam laporan Sectoral Searching for Opportunities to Grow menggambarkan bagaimana resesi terjadi serta dampaknya ke Indonesia. Dalam hitungan Bank Mandiri, dampak resesi kemungkinan akan panjang yakni hingga 2024.

Resesi global ditandai dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia, melandainya permintaan dari negara maju, melemahnya harga komoditas, dan terjadinya arus pembalikan modal (capital reserval).

Perlambatan pertumbuhan ekonomi global serta permintaan dari negara maju sudah terasa sejak kuartal II-2022. Secara teknikal, Amerika Serikat (AS) bahkan sudah memasuki resesi pada April-Juni tahun ini.

China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah AS pun tak berkutik. Ekonomi Negara Tirai Bambu tumbuh 0,4% pada kuartal II-2022 (year on year/yoy), jauh lebih rendah dibandingkan 4,8% pada kuartal I-2022.

Uni Eropa ekonominya tumbuh 4,1% pada kuartal II-2022, terendah dibandingkan tiga kuartal sebelumnya. Sementara itu, ekonomi Inggris tumbuh 4,4% pada April-Juni tahun ini, terendah sejak kuartal I-2021.

Lonjakan inflasi akibat melambungnya harga energi dan pangan membuat ekonomi di negara-negara maju kendur karena permintaan masyarakat melemah.

Indonesia

Sebagai bagian dari ekonomi global, Indonesia tentu saja akan terdampak resesi. Perlambatan akan merembet melalui jalur ekspor, pelemahan harga komoditas, pelemahan nilai tukar.

Kondisi ini akan membuat kondisi perekonomian domestik menjadi tidak pasti, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) akan melemah, serta anjloknya kepercayaan konsumen.

Ekspor Indonesia masih didominasi komoditas dengan kontribusi sebesar 50%. Indonesia memang diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas setelah perang Rusia-Ukraina meletus.

Namun, harga komoditas mulai menurun memasuki semester kedua tahun ini. Harga minyak sawit mentah, batu bara, nikel, hingga emas terus melandai.

Melandainya harga komoditas akan menggerus ekspor serta pendapatan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari komoditas, seperti di Kalimantan dan Sumatera. Contoh paling nyata adalah apa yang terjadi di Kalimantan Timur pada 2010-2012.

Salah satu produsen utama batu bara tersebut tumbuh 5,04% saat masih terjadi booming komoditas pada 2010. Begitu harga komoditas anjlok, pertumbuhannya pun ambruk dari 3,9% pada 2011 dan 1,59% pada 2012.

Pengalaman serupa terjadi pada Riau yang merupakan kantong utama produsen minyak sawit mentah (CPO). Pada 2010, ekonomi Riau tumbuh 5,57% tetapi ambles menjadi 2,48% pada 2013.

Ketidakpastian ekonomi akibat resesi global juga akan membuat investor asing kabur dari emerging market, seperti Indonesia, hingga rupiah terpuruk.

Dalam sepekan terakhir, rupiah sudah terpuruk dalam di hadapan dolar AS. Berdasarkan data Bank Indonesia, investor asing sudah mencatatkan jual neto sebesar Rp 167,81 triliun dari awal tahun hingga 6 Oktober 2022.

Pelemahan rupiah akan membebani perusahaan dan masyarakat karena barang modal dan barang impor makin mahal. Tidak hanya peralatan mesin perusahaan, harga handphone terbaru juga naik harganya.

Dengan ketidakpastian di tengah resesi, konsumen Indonesia akan menahan belanjanya. Pengurangan belanja terutama terjadi untuk pembelian barang tahan lama karena konsumen fokus pada kebutuhan essensial mereka.

Kondisi ini sudah tercermin dalam Survei BI menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) September. Indeks pembelian barang tahan lama melemah ke posisi 102,5 pada September 2022, terendah lima bulan terakhir.

Perlambatan terjadi karena masyarakat melihat ketersediaan lapangan kerja dan penghasilan akan menurun.

Di sisi lain, perlambatan ekonomi global juga akan membuat perusahaan berorientasi ekspor terdampak karena permintaan dari negara lain mengendur. Perlambatan permintaan dari sisi konsumen dan produsen ini akan membuat investasi perusahaan melambat.

Tidak hanya sektor usaha yang kena, investasi masyarakat di properti juga diproyeksi menyusut mengingat masyarakat akan lebih memilih menabung di tengah ketidakpastian ekonomi. Kenaikan suku bunga juga akan membuat investasi di sektor properti kurang menarik.