Pemerintah  berencana melakukan konversi gas LPG 3 kilogram (kg) ke kompor listrik. Untuk tahap awal dilakukan di tiga kota yakni Denpasar, Solo dan satu kota di Sumatera.

Dalam uji coba ini, pemerintah menyasar sebanyak 300 ribu masyarakat miskin yang terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Adapun total anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp540 miliar.

Masyarakat yang terpilih bakal mendapatkan paket kompor listrik yang terdiri dari satu kompor dua tungku, satu tempat masak, dan satu Miniature Circuit Breaker (MCB) atau penambah daya khusus untuk kompor listrik.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan konversi ke kompor listrik ini bakal mengurangi biaya impor LPG 3 kg di Tanah Air. Nilai penghematan impornya bahkan bisa mencapai Rp10,21 triliun per tahun jika pengguna kompor listrik meningkat mencapai 15,3 juta rumah tangga.

"Kita bisa hemat biaya impor LPG dengan program konversi LPG mulai 2028 Rp10,2 triliun per tahun," kata pria yang akrab disapa Darmo ini saat raker dengan Komisi VII DPR RI.

Penghematan, kata Darmo, tak hanya terjadi pada anggaran negara, tapi juga kantong masyarakat. Berdasarkan hitungan PLN, biaya masak bisa turun 10-15 persen per bulan dengan kompor listrik.

Harga keekonomian LPG adalah Rp19.980 per kg dan yang dibayarkan oleh masyarakat setelah disubsidi sebesar Rp5.250 per kg. Namun, harganya bisa berubah karena bergantung dengan harga minyak mentah dunia yang fluktuasi.

Sedangkan, harga keekonomian listrik sebesar Rp11.792 per 1 Kg ekuivalen kwh dan yang dibayarkan masyarakat setelah disubsidi sebesar Rp4.530 per 1 Kg ekuivalen kwh.

"Dibandingkan Rp5.250 akan lebih murah Rp4.530 per kg per kwh (bayarnya). Ini masyarakat akan lebih hemat sekitar 10-15 persen daripada (menggunakan) LPG," jelas Darmo.

Sayangnya, Pengamat Energi Mamit Setiawan merasa pemerintah terlalu cepat menyimpulkan negara bakal untung dengan kebijakan ini. Sebab, proses uji coba saja baru mau dilakukan.

Dengan kata lain, hitungan keuntungan yang disebut PLN tidak berdasarkan data di lapangan.

"Kita harus lihat dulu bagaimana manfaat dari (pelaksanaan uji coba) konversi ini. Apakah nanti setelah dihitung penggunaan kompor induksi ini memang akan jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan penggunaan LPG 3 kg atau sebaliknya," ujarnya.

Namun, ia tak menampik, jika konversi ini bakal mengurangi nilai impor LPG. Sebab, sampai saat ini LPG yang ada di dalam negeri sekitar 75-80 persen berasal dari impor.

Karenanya, dia minta pemerintah jangan terlalu cepat menyimpulkan keuntungan yang bakal diperoleh. Pasalnya, belum ada regulasi jelas yang mengatur mengenai kebijakan kompor listrik.

Ia mengatakan betul jika paket kompor dan penambahan daya diberikan secara gratis. Namun setelahnya, nasib masyarakat miskin harus dipertimbangkan. Terutama dalam membayar tagihan listrik.

"Yang paling utama dan paling penting bagi masyarakat adalah terkait dengan tarif, ketika mereka nanti dikonversikan menjadi kompor induksi, bagaimana dengan tarif listrik yang akan mereka bayarkan," jelasnya.

Seperti diketahui, masyarakat miskin yang terdaftar di DTKS adalah pelanggan listrik 450 VA dan sebagian 900 VA. Sudah tentu, kompor listrik yang dayanya 1.000 watt tidak akan mampu dengan daya tersebut.

Mamit mengatakan minimal daya pengguna kompor listrik harus 2.200 VA agar masih bisa menggunakan alat elektronik lain saat memasak. Tapi, daya 2.200 VA tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Meskipun pemerintah mengklaim masyarakat tetap bisa menggunakan daya lama untuk listrik sehari-hari, dan kompor listrik diberikan MCB baru, tetap saja tidak ada kejelasan tarifnya apakah ikut juga disubsidi atau tidak.

"Jika memang tarifnya tidak terlalu memberatkan masyarakat dan lebih meringankan masyarakat kenapa tidak kan? Tapi ini pasti jadi beban bagi negara, karena akan ada beban subsidi ataupun beban kompensasi jauh lebih tinggi ketika, misalnya, kompor induksi ini tarifnya masih disubsidi," jelasnya.

"Saya kira bisa benar-benar dihitunglah ya dan benar-benar dipastikan juga. Jangan sampai sama-sama memberatkan, baik memberatkan masyarakat maupun memberatkan pemerintah," imbuhnya.

Faktor lain yang dinilai Mamit harus menjadi perhatian adalah kendala dari pasokan listrik. Pemerintah harus bisa memastikan daerah yang disasar betul-betul yang memiliki pasokan listrik cukup dan terjamin.

"Jangan sampai listriknya mati. Bayangkan saja, mereka lagi masak, tiba-tiba listriknya mati. Sedangkan mereka tidak punya kompor LPG lagi. Masa mereka harus masak menggunakan kayu? Jadi benar-benar harus diperhatikan," kata dia.

Sementara, Ekonom Centre of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menekankan jika tujuan konversi ke kompor listrik untuk mengurangi ketergantungan LPG, maka butuh konsistensi.

"Karena diperkirakan butuh waktu lama adaptasi dan persiapan di tingkat masyarakat," kata Bhima.

Setidaknya ada lima faktor yang harus dipertimbangkan pemerintah. Pertama, daya listrik yang dibutuhkan untuk kompor listrik relatif besar.

Sementara itu, kelompok 450 VA adalah golongan pemakai LPG subsidi terbanyak. Dengan gambaran itu, kurang cocok apabila kompor listrik digunakan untuk memasak harian.

"Kalau dinaikan daya listriknya maka beban tagihan listrik akan naik dan merugikan orang miskin," kata dia.

Kedua, biaya transisi ke kompor listrik relatif jadi beban baru. Sebab, Bhima menilai tidak semua kompor listrik bisa diberi gratis plus alat masak khusus, karena yang disasar hanya 300 ribu orang.

"Kalau orang miskin disuruh beli kompor listrik sendiri sepertinya hanya menambah beban di tengah naiknya biaya hidup akibat inflasi," imbuhnya.

Ketiga, jika pemerintah memang ingin mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil, tapi di hulu pembangkit listrik masih dominan batu bara dan BBM, maka ini menjadi tidak sejalan.

"Jadi sama saja konsumsi listrik naik, maka PLTU yang butuh batu bara semakin tinggi. Beban hanya pindah dari penghematan di hilir jadi kenaikan pembelian batu bara dan BBM impor di hulu pembangkit," kata Bhima.

Keempat, pemerintah juga harus mempertimbangkan budaya masyarakat untuk menggunakan kompor listrik butuh waktu lama untuk diubah. Jangankan orang miskin, kelompok menengah atas saja yang sebenarnya sudah lama mengenal kompor listrik lebih nyaman pakai LPG.

Sebab, proses memasak menggunakan LPG lebih cepat. Sehingga, dikhawatirkan uji coba dari penggunaan kompor listrik akan percuma, dan masyarakat kembali lagi pakai kompor LPG.

Kelima, senada dengan Mamit, Bhima juga meminta pemerintah untuk mempertimbangkan infrastruktur listrik yang masih terdapat keluhan pemadaman di jam tertentu.

"Ini perlu dijamin stabilitas aliran listrik, karena jika terjadi pemadaman, maka aktivitas rumah tangga atau penggunaan kompor listrik bisa terganggu. Dalam kondisi tertentu kelompok rumah tangga miskin terpaksa mengeluarkan uang untuk membeli genset sebagai cadangan tenaga listrik," pungkasnya.