Mengungkap Iklan-iklan Terselubung di Balik Pernikahan Artis

ZonaKamu - Berita mengenai artis selalu menarik perhatian banyak orang, termasuk berita perkawinan mereka. Ketika seorang artis terkenal menikah, apalagi menikahnya dengan sesama artis terkenal, bisa dipastikan perhatian orang-orang akan tersedot pada perkawinan mereka.

Perkawinan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, misalnya, menarik perhatian banyak orang. Begitu pula perkawinan Raisa Andriana dengan Hamish Daud Wyllie. Di luar negeri, perkawinan Kate Middleton dengan Pangeran William juga menarik perhatian dari berbagai penjuru dunia.

Segala yang terjadi terkait perkawinan mereka—dari foto-foto pre-wedding, resepsi, busana yang dikenakan, tata rias, desain undangan, makanan, dan lain-lain—semuanya menarik perhatian.

Di antara semua hal yang menarik perhatian tersebut, pernahkah kita menyadari bahwa sebenarnya ada unsur iklan terselubung di sana?

Ketika Kate Middleton dan Pangeran William menikah pada 29 April 2011 silam, tak lama kemudian gaun pengantin Middleton menjadi tren. Penjualan produk Alexander McQueen—rumah busana yang memproduksi gaun pengantin untuk Middleton—pun melonjak hingga 27 persen seusai pernikahan Kate-William.

Ini mengindikasikan citra sang mempelai perempuan yang positif, sehingga sebagian publik tertarik untuk mencontoh apa pun yang melekat pada dirinya.

Sharon Boden, penulis buku “Consumerism, Romance, and the Wedding Experience” (2003), mengambil contoh pernikahan Liza Minnelli. Ia memandang bahwa pernikahan selebritas tak ubahnya pertunjukan ‘kabaret’ yang bertujuan meneguhkan posisinya dalam dunia hiburan.

Setelah berbagai media internasional mewartakan royal wedding, berbagai pelaku usaha segera memanfaatkan hal tersebut untuk mendulang untung.

Dikabarkan The New York Times, memorabilia terkait pernikahan Kate-William dipasarkan ke publik, mulai dari cangkir, sendok, prangko, koin, hingga boneka teddy bear. Replika cincin tunangan Middleton pun sempat dijual dengan menjual pesan “manifestasi fisik dari cinta absolut”.

Dalam pernikahan Raisa-Hamish pun, logo konsultan pernikahan selebritas tersebut dicantumkan dalam publikasi seputar hajatan yang diselenggarakan. Juga jangan lupakan siapa perancang pakaian, siapa merias sang pengantin, atau di mana tempat pernikahan digelar.

Kesemuanya disebut, dan akan mendapatkan publisitas. Banyak yang tidak menghiraukannya, tapi tidak sedikit juga yang mencermati ini bentuk promosi jasa perusahaan terkait.

Aneka gambaran yang dipaparkan media massa menumbuhsuburkan fantasi calon-calon pengantin, terlepas dari kemampuan finansial mereka sebenarnya. Makin megah, makin tergiur sebagian calon pengantin untuk mewujudkannya. Pernikahan tak lagi merupakan institusi sakral semata.

Perlahan tetapi pasti, hal ini menjelma menjadi suatu industri yang berupaya jor-joran membuat calon-calon pengantin kian ‘haus’ dan (mau tak mau) memuaskan hasratnya dengan produk dan jasa yang disuguhkan produsen.

Gambaran pernikahan selebritas yang megah menciptakan suatu hiperrealitas di masyarakat. Sesuatu yang dicitrakan secara berlebihan, berulang kali, sampai pada akhirnya melekat di benak masyarakat. Seperti ide bahwa pernikahan cuma (harapannya) dilakukan sekali seumur hidup, maka totallah dalam menyelenggarakannya.

Saking totalnya, tak jarang orang bekerja keras mengumpulkan biaya nikah, kadang ada yang meminjam sana sini, juga untuk memuaskan ekspektasi (konsumerisme) pihak keluarga atau berdasarkan tekanan teman-teman sepergaulan. Atau demi memenuhi keinginan pasangan, misalnya, mengimitasi pilihan selebritas pun akan diusahakan.

Susan Krauss Whitbourne, Ph.D., Professor Emeritus of Psychological and Brain Sciences di University of Massachusetts Amherst, menyatakan bahwa selama selebritas berada di posisi aman di ranah hiburan, semakin besar potensi produsen untuk menggaet mereka dan memanfaatkan citra mereka untuk dijual.

Dalam Psychology Today, ia juga memaparkan sejumlah saran bagi khalayak supaya tidak terjebak dalam keinginan membeli produk atau menggunakan jasa sebagaimana dilakukan selebritas yang disokong industri. Menyadari bahwa diri sedang dibujuk pengiklan menggunakan selebritas adalah langkah awal, menurut Whitbourne.

Berikutnya, banyak-banyak meriset opsi lain sebelum membuat keputusan adalah PR berikutnya, bila tidak ingin termakan rayuan tak langsung si selebritas dalam konten iklan.

Memutuskan pembelian tentunya tak baik bila dilakukan secara impulsif. Karenanya, Whitbourne menyugesti untuk tidak memilih dalam kondisi emosional. Pertimbangan rasional soal untung-rugi memilih sesuatu, adalah hal yang tidak boleh terabaikan.