Jalan Panjang RUU PKS dan Rumitnya Pembelaan untuk Korban Kekerasan

ZonaKamu - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Bambang Soesatyo, memastikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tidak akan disahkan lembaganya pada periode ini. Ia mengatakan waktu kerja yang tinggal sedikit lagi tidak memungkinkan DPR dan pemerintah menyelesaikan pembahasan RUU sejak 2017 itu.

Politikus Partai Golkar ini menyatakan pembahasan RUU PKS akan kembali dibahas pada masa jabatan DPR periode 2019-2024.

"Saya sudah berkoordinasi dengan pimpinan panja (panitia kerja) terkait, karena waktunya yang pendek dan masih banyak masalah yang belum selesai dibahas, maka kita putuskan ditunda," ujar lelaki yang kerap disapa Bamsoet itu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (26/9).

Keputusan DPR itu mengundang kekecewaan banyak pihak, terutama perempuan. Penundaan pengesahan RUU itu dinilai semakin tidak memihak kepada korban kekerasan seksual selama ini.

Aktivis Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Khotimun Sutanti, mengatakan apabila RUU tidak kunjung disahkan, maka risiko yang muncul adalah nasib korban kekerasan seksual akan terus terlunta.

Karena delik yang ada saat ini belum memadai, dan hukum acara menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga tidak mengakomodasi situasi korban kekerasan seksual.

"Upaya perlindungan dan pemulihan korban yang diperjuangkan dalam RUU PKS tidak segera terwujud," ujar Khotimun.

Perempuan yang kerap disapa Imun itu mendesak agar RUU ini tetap menjadi prioritas DPR. Bagi LBH APIK, jika draft yang ada sekarang disahkan, tidak terlalu soal.

"Ini komitmen negara bagi korban kekerasan seksual. Berikan hak konstitusional mereka," jelasnya.

Kehadiran RUU PKS dianggap mendesak untuk mencegah meningkatnya kasus kekerasan seksual—terutama yang kerap dialami perempuan.

Menilik Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan Komnas Perempuan, sepanjang 2018 terdapat 406.178 kasus dilaporkan. Artinya, meningkat 16,6 persen dari tahun sebelumnya yang tercatat 348.466 kasus.

RUU PKS dianggap mampu mengakomodasi korban kekerasan seksual yang selama ini tidak bisa terakomodasi secara hukum. Dalam KUHP, kekerasan seksual hanya diatur dalam konteks perkosaan yang rumusannya tidak mampu memberikan perlindungan pada perempuan korban kekerasan.

Ruang lingkup pengaturan mengenai penghapusan kekerasan seksual yang diatur dalam RUU PKS ini mampu mengakomodasi berbagai peraturan mengenai penghapusan kekerasan seksual meliputi pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan, hingga penindakan pelaku.

Namun dalam perkembangannya, RUU PKS ini kerap dibenturkan dengan isu agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun menolak lahirnya aturan hukum ini. MUI menyebut RUU PKS terlalu liberal, tak sesuai norma agama, dan melegalkan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Namun alasan MUI tersebut dianggap melenceng dari semangat yang dibawa dalam RUU PKS. Imun mengatakan, seharusnya kehadiran RUU ini tidak dikaitkan dengan agama.

"Tidak benar RUU ini untuk tujuan melegalkan perzinahan. Sejak awal, RUU ini untuk keadilan dan perlindungan korban kekerasan. Jadi jangan dicampuradukkan," ujarnya.

Pembahasan RUU PKS bergulir sejak 2012. Sejauh ini Panja RUU PKS bersama pemerintah baru menyepakati dibentuknya tim perumus (timus). Nantinya, timus bertugas membahas seluruh daftar inventarisasi masalah dan seluruh pasal dalam draf.

RUU PKS mulai diusulkan ke DPR RI dan masuk dalam salah satu satu program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR 2016. Proses masuknya RUU ini ke Prolegnas melalui perdebatan dan diskusi panjang.

Nasib RUU PKS berbeda dengan revisi UU KPK yang pembahasannya super kilat. Sejak resmi jadi RUU usul inisiatif DPR, revisi UU KPK hanya dibahas selama 13 hari hingga akhirnya disahkan.