Yellow Fever, Ketertarikan Pria Pada Perempuan Asia

ZonaKamu - Sebagian pria Kaukasia memiliki ketertarikan khusus pada wanita-wanita Asia, dan ketertarikan itu disebut yellow fever. Mengapa pria-pria Kaukasia memiliki ketertarikan atau kecenderungan khusus terhadap para perempuan Asia, dan apa yang bisa diambil pelajaran dari fenomena yellow fever?

Hasil survei oleh aplikasi kencan OKCupid terhadap sekitar 25 juta pengguna pada 2009-2014 menunjukkan laki-laki dari aneka ras di luar Asia menganggap perempuan Asia 1-11 persen lebih menarik dari perempuan rata-rata.

Dalam The Telegraph, Yuan Ren menulis sejumlah mitos di kalangan teman-teman laki-laki Kaukasian di Inggris. “Perempuan keturunan Cina lebih terbuka dalam hal seks dibanding perempuan Kaukasian” atau “Perempuan keturunan Cina lebih hebat di ranjang” adalah contoh generalisasi berlebihan yang Ren temukan saat berbincang dengan mereka.

Kegandrungan akan perempuan Asia juga dilanggengkan oleh penggambaran-penggambaran di film Barat maupun film porno Jepang. Submisif dan pasif adalah stereotip yang kerap dilekatkan kepada perempuan Asia, dan bagi sebagian laki-laki hal itu justru menjadi daya tarik.

Para pelakon yang tergabung dalam The British East Asian Artist (BEA) pun sempat mengkritik BBC dan sejumlah industri penyiaran lain yang menyuburkan stereotip macam itu. Jika hal itu terus-menerus dibiarkan, perilaku merendahkan perempuan Asia akan semakin mungkin ditemui di berbagai tempat.

Tidak hanya BEA yang menyuarakan protes terkait rasisme dan stereotip terhadap perempuan Asia.

Jenn Li, seorang perempuan Asia, pernah menulis di The Independent terhadap kasus Blanc: “Saya seorang keturunan Cina, tetapi orang-orang tidak peduli perempuan Asia macam apakah saya. Dengan melanggengkan ide bahwa perempuan Asia adalah sosok yang ‘selalu tersedia’ bagi laki-laki predator, itu mendorong laki-laki menyedihkan lain untuk berlaku kasar terhadap perempuan Asia."

Dari sini, teranglah perkara yellow fever bukan sekadar wacana kesusilaan, sehingga tidak cukup berhenti dengan membuat petisi atau mengutuki perbuatan mereka. Perkara mereka memiliki spektrum luas secara sosial-budaya—rasialisme, kekerasan, dan ketimpangan peran gender—yang membutuhkan refleksi dan analisis mendalam untuk mengatasinya.