Rumitnya Masalah Hukum Terkait Perkosaan

ZonaKamu - Ketika seorang wanita mengalami kejahatan perkosaan, ke mana harus mengadu, dan berharap mendapat keadilan? Pertanyaan itu patut diajukan, karena kasus kejahatan berupa perkosaan memiliki masalah rumit, terkait perspektif hukum, hingga cara pandang hukum terhadap terjadinya kasus perkosaan.

Contoh-contoh berikut ini bisa menjadi ilustrasi yang menunjukkan bahwa perkosaan adalah kejahatan serius yang membutuhkan penanganan lebih serius.

Pertama, kebijakan terkait consensual sex di North Carolina, AS. Sejak 1979, regulasi hukum perkosaan di sana tidak diperbarui. Padahal, definisi tentang seks berbasis kesepakatan atau consent telah berkembang dari waktu ke waktu.

Selama tidak ada kata ‘ya’ sebelum dan sepanjang aktivitas seks, maka hal itu tidak bisa disebut seks dengan kesepakatan, demikian idealnya yang diamini setiap orang. Namun malangnya di North Carolina, orang yang awalnya setuju berhubungan seks lantas di tengah aktivitas memutuskan untuk menolak tidak bisa dikatakan sebagai korban perkosaan.

Bayangkan bila seorang perempuan tengah berhubungan badan dengan partnernya, lantas sang partner melakukan aksi yang tidak disukainya atau bahkan menyakiti dirinya, tetapi tetap tidak menghentikan hal tersebut. Mengadu di pengadilan di North Carolina bisa membuat si perempuan pulang dengan nelangsa, karena partnernya akan dibebaskan dari tuduhan memperkosa.

Kasus kedua yang menunjukkan persepsi keliru soal perkosaan tersirat dari putusan perkara perkosaan di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara, pada 2007 silam. Seorang perempuan 25 tahun diperkosa bergilir oleh beberapa laki-laki setelah terlihat mabuk di pantai.

Oleh sebagian laki-laki, kondisi perempuan mabuk merupakan kesempatan untuk melakukan hubungan seks, meski tanpa persetujuan jelas dari si perempuan. Seolah belum cukup peristiwa malang menimpa dirinya, korban mesti menerima komentar tak sensitif dari hakim, yang menyatakan dirinya perempuan nakal karena sudah pernah bersetubuh dengan pacarnya.

Di sini, penyalahan korban kentara. Rekam jejak aktivitas seksual seorang perempuan sering kali menjadi justifikasi laki-laki sempit otak untuk melakukan perkosaan terhadapnya. Bukan satu dua kali pula diberitakan bahwa pekerja seks komersial mengalami pelecehan hingga dipaksa berhubungan badan, hanya karena dirinya terjun di dunia prostitusi.

Dalam studi Jaydip Sarkar (2013) yang dimuat di Indian Journal of Psychiatry, dipaparkan sejumlah faktor yang memengaruhi seseorang menjadi pemerkosa. Di samping budaya dan pola didik keliru, Sarkar menyebutkan kerusakan pada bagian otak bisa berasosiasi dengan perkosaan. Saat hal ini terjadi, seseorang dapat mengalami kesulitan mengontrol perilaku agresifnya.

Sejarah trauma yang dialami pelaku pada masa silam pun bisa berkontribusi terhadap kejahatan seksual yang terjadi. Kekerasan seksual atau fisik serta kondisi keluarga yang berantakan dikatakan Sarkar dapat berdampak terhadap bagaimana seseorang membangun relasi yang sehat ketika dewasa.

Pengalaman-pengalaman itu akhirnya membuat defisit intimasi dan kekurangsensitifan dalam relasi orang tersebut. Saat ia menjadi tak sensitif atau sulit berempati, potensi besar ia mengabaikan kesepakatan atau mendengarkan keinginan perempuan di hadapannya akan muncul.

Sehubungan dengan faktor-faktor pendorong seseorang menjadi pemerkosa, Sarkar juga membuat taksonomi pelaku perkosaan.

Kategori pertama adalah oportunistic rapist. Pemerkosa jenis ini melakukan kejahatannya dengan memanfaatkan keadaan yang dianggap mendukung: jalan sepi, tengah malam, dan tidak ada orang yang mengamati. Ketika pengawasan dipandang minimal, pelaku semakin berani untuk melancarkan aksinya terhadap korban.

Berikutnya adalah sexually sadistic rapist. Motivasi pemerkosa ini ialah mendegradasi atau mempermalukan korban. Dengan begini, pelaku menunjukkan kuasa dan kontrol terhadapnya. Alasan lain yang mendorong pelaku memperkosa dalam taksonomi Sarkar adalah balas dendam.

Contoh untuk kategori ini bisa diambil dari kejadian-kejadian di Pakistan, di mana perkosaan merupakan salah satu bentuk hukuman balas dendam yang ditimpakan pada perempuan tidak bersalah.

Pada Juli 2017 lalu, dewan sebuah desa di Pakistan membolehkan Mohammad Ashfag memerkosa perempuan 16 tahun setelah saudara laki-laki tersebut dituduh memperkosa adik perempuan Ashfag.

Memandang kasus perkosaan dengan cara simplistis seperti fokus pada penyalahan pelaku atau korban adalah suatu kesalahan kaprah. Hal yang jauh lebih kompleks menjadi dasar gunung es fenomena perkosaan, dan inilah yang tidak kalah penting untuk difokuskan untuk mereduksi angka perkosaan di berbagai tempat.