Polusi dan Masalah Pencemaran Lingkungan di Cina

ZonaKamu - Cina adalah negara yang besar, dengan wilayah luas, sekaligus memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia. Latar belakang itu menjadikan Cina sebagai negara yang sangat sibuk, di antaranya sibuk menghasilkan aneka produksi yang digunakan untuk menunjang kehidupan negara dan rakyatnya.

Aneka usaha itu menjadikan pabrik-pabrik di Cina tak pernah berhenti mengepulkan asap, sementara sumber daya alam—salah satunya air bersih—terus disedot untuk digunakan.

Yang terjadi di Cina, dengan segala kesibukan yang terjadi, ternyata tidak baik-baik saja, karena menimbulkan dampak pada lingkungan serta orang-orang yang tinggal di sana. Polusi dan masalah pencemaran lingkungan menjadi bencana yang kini mengintip kehidupan masyarakat Cina.

Masalah ekologi atau pencemaran lingkungan menjadi tantangan besar pemerintah Cina, khususnya untuk saat ini. Pertumbuhan ekonomi Cina yang tinggi, PDB (Produk Domestik Bruto) yang terus tumbuh setiap tahun, ternyata dibarengi menurunnya kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Terjadinya krisis ekologi di Cina, menurut Eleanor Albert dari Council on Foreign Relations, disebabkan banyak faktor yang saling berhubungan satu sama lain. Mulai dari emisi karbon, penggunaan energi, hingga arus perpindahan penduduk.

Cina merupakan penghasil emisi karbon terbesar di dunia, melampaui Amerika Serikat, pada 2007. Secara keseluruhan, Cina bertanggung jawab atas 27 persen emisi global pada 2014. Dampaknya, menurut laporan Greenpeace East Asia, 80 persen dari total 367 kota di Cina memiliki kualitas udara di bawah standar kesehatan internasional.

Di lain sisi, konsumsi energi di Cina juga terus mengalami peningkatan sejak akhir 2015. Dalam laporan yang dilansir The New York Times, diketahui konsumsi energi Cina 17 persen lebih banyak dibanding sebelumnya.

Konsumsi batubara diyakini menjadi alasan menurunnya kualitas lingkungan di Cina. Negeri Tirai Bambu ini memang menjadi produsen batubara terbesar di dunia, bahkan menyumbang setengah dari konsumsi global. Batubara yang sebagian proses produksinya dibakar di wilayah utara Cina itu menyediakan sekitar dua pertiga dari total kebutuhan energi negeri tersebut.

Menurut catatan Badan Energi Nasional Cina, penggunaan batubara turun menjadi 64,2 persen pada 2014. Penurunan disebabkan melambatnya perekonomian. Meski demikian, angka penggunaan batubara yang menurun bukan berarti memperkuat komitmen Cina dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan.

Pada 2015, kapasitas pembangkit listrik tenaga batubara justru meningkat sebesar 55 persen dalam enam bulan pertama. Selain itu, izin pembangunan 155 pabrik batubara yang baru telah disetujui oleh pemerintah.

Kemudian, pada 2014, terdapat 17 juta mobil baru yang ada di jalan-jalan. Sedangkan jumlah kepemilikan mobil di Cina, dilansir Kementerian Keamanan Publik, mencapai 154 juta. Padahal, pada 2004, jumlah kepemilikan mobil hanya sekitar 27 juta. Keberadaan mobil yang begitu banyak jelas memberi kontribusi besar terhadap emisi karbon.

Biro Statistik Nasional menjelaskan, faktor lain yang turut menimbulkan krisis ekologi ialah laju urbanisasi. Dalam rencana pemerintah, pada 2020 terdapat 60 persen penduduk China yang tinggal di kota. Bagi pemerintah Cina, urbanisasi yang masif dipercaya mampu memperkuat industrialisasi di kota-kota.

Sementara itu, para ahli menjelaskan penipisan air bersih dan polusi udara sebagai tantangan ekologi terbesar di Cina. Negeri itu menjadi rumah bagi 20 persen populasi dunia yang, sayangnya, persediaan air bersihnya hanya tersisa 7 persen.

Menipisnya pasokan air bersih disinyalir akibat konsumsi yang berlebih serta terkontaminasinya air dengan zat-zat kimia lain. Choke Point China, LSM yang bergerak di bidang lingkungan, mengatakan sekitar dua pertiga dari 660 kota di Cina mengalami kekurangan pasokan air bersih.

Mantan Perdana Menteri China Wen Jiabao menyebutkan masalah kekurangan air bersih ini mempertaruhkan keberlangsungan hidup bangsa.

Tercemarnya pasokan air tak bisa dilepaskan dari kehadiran sektor industri di sepanjang kawasan sumber mata air. Pada 2014, persediaan air tanah di lebih dari 60 persen kota besar dikategorikan “sangat buruk”. Sedangkan seperempat sungai utama di Cina dianggap “tak layak untuk manusia”. 

Kondisi semakin buruk dengan pengolahan limbah yang kacau, praktik pertanian yang tak ramah lingkungan, hingga perubahan iklim. Hasilnya, krisis air yang terjadi di Cina telah mengubah sebagian lahan subur menjadi padang pasir.

Menurut wakil kepala Administrasi Kehutanan, sekitar 1,05 juta mil persegi daratan Cina mengalami desertifikasi yang memengaruhi kehidupan lebih dari 400 juta orang.

Polusi udara di Cina jelas berdampak buruk. Polusi udara ini diduga menyebabkan sekitar 1,2 juta kematian dini setiap tahun. Studi epidemologi yang dilakukan sejak 1980-an menunjukkan buruknya kualitas udara di kota-kota Cina menghasilkan komplikasi kesehatan seperti penyakit pernapasan hingga kardiovaskular.

Krisis ekologi ini akhirnya menimbulkan ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut berbagai perkiraan, sekitar 3 sampai 10 persen dari pendapatan nasional akan susut akibat krisis ekologi. Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup Cina, pada 2010, menghitung biaya yang ditimbulkan dari krisis ekologi terutama pencemaran mencapai 227 miliar dollar atau 3,5 persen dari PDB.

Kerusakan lingkungan juga mempengaruhi prospek perekonomian Cina yang sedang gencar-gencarnya mengejar sumber daya ekstraktif di luar negeri seperti minyak dan bahan bakar fosil. Menurut Michael Levi dalam By All Means Necessary (2016), mitra ekonomi Cina, terutama di negara berkembang, akan menghadapi beban lingkungan yang mahal ketika melakukan kesepakatan bisnis dengan Cina.

Elizabeth C., dalam Economy the River Runs Black: The Environmental Challenge to China’s Future (2004), mengatakan situasi lingkungan Cina saat ini merupakan hasil dari sikap, pendekatan, dan kebijakan yang telah berevolusi selama berabad-abad.

Menurutnya, sejak zaman dahulu, para pemimpin dinasti di kerajaan Cina telah mengeksploitasi sumber daya alam dengan cara yang berdampak pada bencana alam dan kelaparan.