Menyingkap Rahasia Pikiran Para Pemerkosa

ZonaKamu - Mengapa ada pria yang sampai melakukan kejahatan perkosaan? Siapa pun yang cukup waras tentu menyadari bahwa perkosaan—aksi melakukan pemerkosaan terhadap seseorang—adalah kejahatan yang serius sekaligus memalukan.

Mengapa ada banyak pria yang melakukan kejahatan tersebut? Apa yang mereka pikirkan, baik terkait perilaku perkosaannya maupun korbannya?

Pertanyaan itulah yang mendorong Madhumita Pandey untuk mencari dan menemukan jawabannya.

Dalam upaya meraih gelar doktor kriminologi dari Anglia Ruskin University, Inggris, Madhumita Pandey melakukan studi terhadap 100 pemerkosa yang ia temui di India, setelah tiga tahun terjun ke lapangan. Hasil studi Madhumita Pandey terkait hal itu telah dimuat berbagai media massa internasional.

Sudah jadi rahasia umum bahwa India adalah negara yang tak ramah perempuan. Menurut data dari National Crime Records Bureau, 34.651 perempuan diperkosa pada tahun 2015.

Tiga tahun sebelumnya, pakar-pakar studi gender menempatkan India sebagai negara paling tidak aman untuk perempuan di antara negara-negara G-20. Nasib perempuan di India bahkan dikatakan lebih buruk daripada di Arab Saudi—tempat perempuan mesti hidup di bawah pengawasan laki-laki.

Acap kali para pemerkosa dianggap serupa monster yang keji. Orang-orang mengutukinya, berharap hukuman seberat-beratnya dijatuhkan kepada mereka. Pemberitaan di media massa pun lebih sering diarahkan kepada kronologi kejadian perkosaan serta kondisi korban, sementara Pandey tergerak untuk mengamati fenomena perkosaan dari perspektif lain.

“Apa yang mendorong para pemerkosa ini melakukan aksinya? Kondisi-kondisi macam apa yang memproduksi laki-laki (pemerkosa) semacam ini? Saya lantas berpikir untuk menanyai langsung para pelaku,” ujar Pandey, seperti dikutip dari The Washington Post.

Setelah menemui para pemerkosa di penjara Tihar, Delhi, Pandey mempelajari beberapa hal.

Pertama, kebanyakan pelaku memiliki latar pendidikan rendah. Kurangnya edukasi rupanya berkontribusi terhadap tindakan kriminal yang mereka buat saat dewasa. Tidak hanya sebatas sisi akademis yang Pandey bicarakan di sini. Pendidikan seks yang minimal juga berperan besar terhadap kejahatan seksual yang marak di India.

Pada kebanyakan sekolah, pendidikan seks diabaikan dengan alasan bisa merusak nilai tradisional dan ‘mengorupsi’ pola pikir anak-anak muda. Orangtua pun jarang ada yang mau menyebut kata penis, vagina, perkosaan, atau seks.

Budaya konservatif dan tabu di India inilah yang pada akhirnya membentuk pribadi-pribadi yang tidak sensitif seputar isu seks, bahkan melakukan kekerasan karena kekurangpahaman mengenai praktik-praktik seks yang tidak melanggar hak orang lain.

“Apa yang dilakukan pemerkosa merupakan hasil didikan dan proses berpikir yang keliru,” demikian disampaikan Pandey.

Terkait pola didik yang keliru, banyak laki-laki yang menyerap ide salah mengenai maskulinitas: harus dominan, punya kuasa atas perempuan atau mesti serba-lebih dibanding perempuan. Malangnya, tidak sedikit perempuan yang mengamini gagasan bahwa kaumnya harus tunduk, atau bersifat submisif terhadap laki-laki.

Dalam wawancara yang dilakukan Pandey, banyak pemerkosa yang membuat justifikasi atau normalisasi atas perbuatannya. Hanya segelintir yang benar-benar menyesal. Lebih buruk lagi, mereka menyalahkan korban atas tindak kejahatan yang dilakukannya.

Dari temuan Pandey ini, dapat dimengerti bahwa pada saat bersamaan, laki-laki pemerkosa menjadi pelaku sekaligus korban dari budaya patriarki dan toxic masculinity yang merajalela di mana-mana.