Persoalan Suami-Istri dan Upaya Pencegahan Kehamilan

ZonaKamu - Ketika sepasang suami istri menikah, umumnya mereka memiliki anak sebagai hasil hubungan seks yang mereka lakukan. Dalam hal itu, sebagian suami istri ingin membatasi jumlah anak mereka, misal hanya dua atau tiga saja. Atas tujuan itu, mereka pun berupaya melakukan kontrasepsi atau pengendalian kehamilan, agar hubungan seksual yang dilakukan tidak lagi menghasilkan anak.

Sehubungan dengan pengendalian kehamilan, aneka pilihan kontrasepsi telah disediakan untuk masyarakat. Namun, bila dicermati, sebagian besar alat kontrasepsi yang ada ditujukan bagi perempuan. IUD (spiral), pil dan suntikan KB, spermicidal gel, vaginal ring, kondom perempuan, dan sterilisasi adalah bentuk-bentuk kontrasepsi yang bisa digunakan perempuan. Sementara bagi laki-laki, pilihan yang ada ialah kondom laki-laki dan vasektomi. Adapun kontrasepsi suntik untuk laki-laki menjadi pilihan yang lebih tidak populer dibanding dua metode kontrasepsi laki-laki lainnya.

Minimnya pilihan kontrasepsi untuk laki-laki bukan berarti tidak pernah ada studi untuk menciptakan alat baru pengendali kehamilan bagi mereka. Dilansir Bloomberg, pada dekade 50-an silam, peneliti dari perusahaan farmasi Sterling Drug mencoba mengembangkan pil kontrasepsi untuk dikonsumsi laki-laki.

Setelah 12 minggu menjajal pil tersebut, ditemukan penurunan jumlah sperma dalam diri para partisipan eksperimen. Namun, satu kejadian membuat pengembangan penemuan ini dihentikan.

Salah satu partisipan meminum alkohol ketika tengah mengonsumsi pil kontrasepsi. Akibatnya, ia jatuh sakit. Jantung berdebar, berkeringat, mual, dan muntah adalah gejala-gejala yang timbul akibat konsumsi dua hal secara bersamaan ini.

Pada 2016 silam, peneliti lain kembali mencoba menciptakan kontrasepsi oral lain untuk laki-laki. Lagi-lagi, pil tersebut menunjukkan efek samping berupa perubahan mood dan depresi. Sementara dari studi berbeda, kontrasepsi suntik laki-laki menimbulkan efek samping munculnya jerawat dan peningkatan libido. 

Kendala-kendala macam ini kerap kali membuat mandek pengembangan kontrasepsi alternatif untuk laki-laki. Padahal pada saat bersamaan, selama puluhan tahun, perempuan telah mengonsumsi pil kontrasepsi yang juga bukan tanpa efek samping.

Mual, sakit kepala, ketidaknyamanan pada payudara, pendarahan tiba-tiba di luar masa haid, peningkatan berat badan, gairah seks menurun, dan perubahan mood adalah gejala yang sering dikeluhkan perempuan saat mengonsumsi pil KB. Gejala-gejala yang muncul dengan menggunakan KB suntik pun dapat setali tiga uang dengan penggunaan pil KB. 

Penggunaan IUD pun membawa risiko tersendiri bagi perempuan. Masalah saat menstruasi, IUD yang menusuk uterus, dan IUD yang terlepas dari uterus adalah contoh-contoh problem yang bisa terjadi saat perempuan memilih metode KB ini. Ditambah lagi, tidak sedikit biaya yang mesti dikeluarkan untuk memasang IUD.

Mudah saja mungkin orang berpikir, cukup gunakan kondom laki-laki, maka selesai masalah pengendalian kehamilan. Namun kenyataannya, efektivitas kondom tidak mencapai 100 persen. Lebih-lebih bila kondom tidak dipasang dengan benar, efektivitas pencegahan kehamilan dengan metode ini mencapai 82 persen saja.

Artinya, 18 dari 100 orang akan tetap hamil bila pasangannya hanya mengandalkan penggunaan kondom laki-laki. Belum lagi keadaan tertentu seperti alergi perempuan terhadap produk lateks. Bila dipaksakan digunakan sebagai satu-satunya metode KB, yang ada ialah ketidaknyamanan saat bercinta.

Deretan konsekuensi yang mesti siap ditanggung perempuan ini menunjukkan bahwa dalam hal pengendalian kehamilan, kerap kali mereka mengemban beban lebih berat. Ketimpangan adalah hal yang jarang sekali disoroti dari wacana pengendalian kehamilan.

Orang-orang lebih melumrahkan efek samping yang diterima perempuan dibanding laki-laki dan ini terus berlangsung hingga sekarang, seolah tidak ada yang salah dengan hal tersebut.

Bila pasangan tidak menggunakan metode KB apa pun dan KTD terjadi, kebanyakan dari mereka lebih memilih membiarkan kehamilan sampai anak lahir, dan mau tidak mau membesarkan si anak. Pilihan aborsi cenderung dihindari lantaran tidak mau dicemooh masyarakat bila sampai ketahuan.

Apakah perempuan masih bisa menegakkan prinsip tubuhnya adalah otoritasnya? Kalaupun ya, ia mesti siap dengan sanksi-sanksi sosial, mulai dari pandangan miring sampai peminggiran. Sebab, hingga kini masyarakat umumnya melihat tubuh bersifat sosial, tidak bisa lepas dari aneka norma dan regulasi yang ada.