Arti di Balik Penolakan “Kamu Terlalu Baik Buat Aku”

ZonaKamu - Ketika seorang pria naksir seorang wanita, biasanya si pria akan melakukan pendekatan. Setelah merasa dekat—misal telah melakukan kencan beberapa kali—si pria pun menyatakan cinta, dengan harapan perasaan cintanya diterima oleh si wanita.

Namun, ada kalanya pernyataan itu mendapat penolakan si wanita. Ada kalanya pula, wanita menolak pernyataan cinta dengan pernyataan, “Kamu terlalu baik buat aku.”

Kalimat penolakan itu bisa jadi membingungkan bagi sebagian pria. Kenapa wanita justru menolak seorang pria yang menurutnya baik? Bukankah wanita menginginkan pasangan pria yang baik? Jadi, ketika ada pria yang jelas baik menyatakan cinta kepadanya, kenapa justru ditolak karena dinilai “terlalu baik”?

Wanita bisa menggunakan kalimat itu untuk menyembunyikan tujuan sebenarnya, misalnya menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Bagaimana pun kalimat tersebut sekadar alasan, bukan berarti orang tersebut enggan mendapatkan pasangan yang terbaik untuknya.

Namun alangkah penting menyampaikan apa yang sebenarnya secara asertif, kemampuan berkomunikasi dengan jujur tanpa merugikan orang lain.

Menyampaikan kebaikan orang lain dalam percakapan secara jujur dan tidak dibuat-buat memainkan peran krusial dalam momen tersebut. Sekalipun mengungkapkan penolakan, tapi jangan sampai kalimat menghina dan merendahkan yang malah keluar. Dari sisi komunikasi, upaya membuat penolakan tetap berakhir dengan ujung yang indah itu tetap lebih baik.

Ucapan ‘baik’ yang secara umum dipersepsikan sebagai kesopansantunan, kehangatan, kecermatan, dan rasa hormat, untuk menyangkut minat romantis ternyata dimaknai berkebalikan seperti membosankan, tidak menarik, mudah tertebak.

Paula Hall, penulis buku Improving Your Relationship for Dummies, meyakini ‘terlalu baik’ di sini hadir disebabkan laki-laki kurang merangsang perempuan secara mental saat memadu kasih.

Sederhananya, hubungan terlalu menjemukan. Kemampuan mengelola konflik diyakini menjadi variabel penting bagi pasangan mempertahankan dan merasa bangga atas hubungan. Memang banyak tafsiran di balik kalimat “Kamu terlalu baik buat aku”.

Dr. Miro Gudelsky, terapis seks asal Manhattan, memberi pernyataan yang hampir senada. Dia menyebutkan, perempuan sebetulnya mengucapkannya karena menginginkan kisah asmara yang sedikit lebih menantang dan menyajikan risiko, ketimbang mengatakan blak-blakan kalau laki-laki tersebut tidak mengundang ketertarikan.

Bisa juga memang terucap karena meyakini sang kekasih pantas mendapatkan pasangan yang lebih baik dari dirinya.

Christine Baumgater, seorang pelatih kencan di Laguna Niguel, California, meyakini masa lalu yang kurang menyenangkan memungkinkan seseorang pesimistis bisa layak mendapat kekasih yang baik untuknya.

Jadi, apa pun yang dilakukan pasangan barunya bisa mencapai dosis ‘terlalu’ dalam pandangannya. Ada idiom dalam bahasa Inggris berbunyi, ‘Nice guys finish last’ yang berkaitan dengan kalimat ini. Laki-laki yang baik hanya finis belakangan, karena selalu menempatkan pasangannya di posisi pertama. Geoffrey C.

Urbaniak dan Peter R. Kilmann dalam penelitiannya, berjudul Physical Attractivenes and the “Nice Guy Paradox: Do Nice Guy Really Finish Last?” didasari asumsi perempuan memang menginginkan laki-laki yang baik, tapi kerap kali sikapnya justru berkebalikan.

Penelitian Urbaniak dan Killman menyimpulkan bahwa kebaikan dan ketertarikan fisik memang memengaruhi perempuan memilih pasangan dan tingkat kepuasan mereka atas laki-laki yang diidamkan. Kebaikan yang tidak dibuat-buat menjadi faktor kunci yang muncul kalau berbicara menjalin hubungan serius.

Sementara faktor fisik menjadi lebih penting dalam konteks hubungan yang santai. Dengan kriteria tertentu, kedua peneliti menggambarkan sosok seorang “Todd baik” (sopan, penuh perhatian, dan ekspresif), “Todd biasa” (netral & biasa-biasa saja), dan “Todd nakal” (tidak peka, egois, dan macho) yang dibandingkan dengan sosok Michael yang cenderung punya karakter ketiga Todd.

Hasilnya, 48 responden memilih “Todd baik” untuk berkencan, menjadi kekasih, dan berkomitmen dalam pernikahan. “Todd baik” kurang dipilih sebagai rekan cinta satu malam, karena “Todd biasa” dengan karakteristiknya lebih dipilih responden.

Apakah baik sudah cukup? Penelitian L.A. Jensen-Campbell, dkk. dengan judul “Dominance, Prosocial orientation, and female preferences: Do Nice guys really finish last?” menjawab tidak sepenuhnya tepat.

Memang, bersikap baik kemudian memengaruhi daya tarik fisik, daya tarik seksual, dan hasrat berkencan bagi laki-laki di hadapan perempuan, tapi itu diikuti dengan bukti dominasi sosial. Sementara dominasi tanpa dilatari sikap baik, hanya menghasilkan kesia-siaan.

Sikap baik nyatanya menjadi fondasi karakter laki-laki yang memengaruhi preferensi perempuan. Karenanya, sekali pun diberi kalimat seperti itu (“Kamu terlalu baik buat aku”), jangan sampai membuat patah arang dalam berbuat baik atau malah bersikap berkebalikan secara drastis.

Selagi memang kebaikan itu datang dasar hati, bukan sesuatu yang artifisial. Kebaikan palsu hanya memunculkan kesan pamrih untuk setiap pemberian.

Mencari tahu alasan sebenarnya tentu sah-sah saja. Tidak melulu harus kepada si pengucap kalimat, teman dekat bisa menjadi pilihan sumber informasi. Bagaimana pun jodoh harus diyakini sebagai salah satu takdir Tuhan, sehingga tidak perlu trauma atas penolakan sekalipun tanpa disertai alasan jujur.