Misteri Villa Berdarah

Di luar dugaanku, Renata tersadar dari pingsannya dan tanpa menunggu lama-lama aku langsung melayangkan kapakku ke lehernya. Renata mati seketika, dan aku merasa puas melihat darahnya membuncah di dinding di dekat tubuhnya. Sementara Nirina masih terlelap dalam pingsannya. Aku ingin langsung membunuhnya, tapi kupikir mungkin akan lebih mengasyikkan kalau Nirina menjadi korban terakhir, ketika dia telah tersadar dari pingsannya, agar aku dapat menyaksikan ekspresinya saat ia menyadari ajalnya akan segera tiba...

Maka aku pun keluar dari kamar itu dan mendekati Heru yang masih juga sibuk dengan pintu villa yang tak juga mau terbuka. Heru sepertinya menyadari langkahku yang mendekatinya, namun langsung kubabatkan kapakku ke lehernya dan Heru pun tewas seketika dengan leher yang menganga. Kuseret mayatnya ke belakang agar berkumpul dengan kawan-kawannya, lalu aku menunggu di ruang depan, menunggu Nirina tersadar dari pingsannya, menunggu korban terakhir sambil menikmati sisa-sisa bir yang ada di meja, juga rokok yang ada di sana. 

Tahukah kau bagaimana rasanya menunggu korban pembunuhanmu berikutnya...? Kau akan merasa seperti malaikat maut dan kau akan merasa begitu berkuasa...tak terkalahkan...dan sekali lagi aku pun menyadari bahwa mungkin seperti itulah yang dirasakan oleh ayahku ketika ia menggedor-gedor pintu rumah kami di larut malam, bertahun-tahun yang lalu, dan kemudian menganiaya ibuku sampai berdarah-darah...

Nirina terbangun dari pingsannya dan dia melihatku di ruang depan. Dia langsung terlihat shock, terkejut setengah mati. Mungkin dia terkejut karena mengiraku telah hidup lagi padahal sudah mati, dan aku tersenyum sinis kepadanya, merasakan suatu sensasi kesenangan karena sekarang aku akan bisa menunjukkan kepadanya bahwa dia akan sangat membutuhkanku, bahwa dia akan memohon-mohon kepadaku...

Aku begitu menyukai saat melangkah perlahan-lahan di belakangnya yang berjalan dengan ketakutan dan kepanikan sambil gemetaran membawa lilin kecil di tangannya. 

Aku begitu menyukai saat melihatnya kebingungan ketika menyaksikan kawan-kawannya bergelimpangan telah menjadi mayat dengan keadaan yang mengerikan. Aku begitu menyukai saat melihatnya sangat panik karena tak menemukan satu pun tempat yang dapat dijadikannya untuk berlindung dan bersembunyi. Aku begitu menyukai saat melihatnya berbalik kepadaku dan merintih dan memohon dan menangis dan menghiba dan memelas... Aku begitu menyukai saat melihatnya kini tak bisa lagi tersenyum sinis kepadaku, menyaksikannya begitu rapuh dan amat ketakutan...

Dan ketika melihatnya bersimpuh memohon kepadaku... Aku merasa begitu menyukai saat melihat itu, dan aku pun menyukai saat melayangkan kapakku dan membabat lehernya dan memuncratkan darahnya yang angkuh dan sombong itu... Aku menyukai pembunuhan korban terakhirku...

Kini aku telah merasa lega karena dorongan yang ada di lubuk terdalam di diriku telah kusalurkan semua, dan aku bahagia melihat kawan-kawanku telah menebus dosa-dosa mereka kepadaku. Aku tersenyum, menikmati sisa-sisa bir yang masih ada, menikmati rokok yang selalu kusukai, dan menikmati detik-detik waktu yang masih bisa kunikmati. 

Kemudian, setelah puas merasakan segalanya, aku pun kembali ke kamarku, menghabiskan butir-butir obat tidurku, membaringkan diriku di atas springbed tempat pertama kali aku dibaringkan, lalu menunggu tubuhku tertidur dalam buaian obat tidur yang telah begitu banyak menolong hidupku selama ini. Aku tahu bahwa ini akan menjadi tidur terakhirku, namun aku puas. Setidaknya dalam kepahitan panjang perjalanan hidupku, sekarang aku dapat tidur dengan senyum bahagia.  

Kepadamu yang membaca surat ini, aku ingin kau tahu bahwa aku sama sekali tidak gila, dan aku sadar sepenuhnya saat aku melakukan segala yang telah kuceritakan itu. Aku mengakhiri hidupku bukan karena aku takut bertanggung jawab atas perbuatanku, tetapi karena aku ingin malam gelap dalam hidupku segera berakhir. 

Dan kini memang telah berakhir...