Misteri Villa Berdarah

Setiap malam aku selalu ketakutan setiap kali hendak tidur, aku ketakutan kalau mimpi buruk itu kembali datang; mimpi buruk yang mengingatkanku kembali pada seraut wajah kejam ayahku yang terus-menerus menghantuiku siang dan malam. Aku tak pernah dapat tidur dengan tenang. Selama beratus-ratus malam aku merasakan sulitnya tidur karena ketakutan pada datangnya mimpi buruk, hingga aku mulai terbiasa dengan obat tidur; satu-satunya berkat yang dapat menolongku untuk dapat tidur.

Semenjak kecil hingga dewasa, satu-satunya pelajaran yang begitu kuat mengakar dalam kesadaranku hanyalah pelajaran kekerasan dan kekejaman, dan aku ingin melakukan itu, namun aku tak pernah mampu.

Pernahkah kau berpikir bahwa pada awalnya pelajaran diberikan secara teori kemudian berlanjut kepada prakteknya...? Tidak ada praktek tanpa teori, dan apabila teori diberikan secara terus-menerus, kau pun akan mencoba melakukan prakteknya.

Dan aku merasakan suatu hasrat tersembunyi di dalam diriku, suatu hasrat yang kejam dan keinginan untuk melakukan seperti yang dilakukan oleh ayahku, namun aku tak pernah mampu, sementara hasrat itu semakin hari semakin kuat dan menguasai diriku; suatu hasrat yang tersembunyi begitu rapat di dalam sosokku yang mungkin nampak lemah dan tak berdaya...

Terkadang, aku menangis di dalam hati menyaksikan kehidupan kawan-kawanku yang tak pernah mengenal kesuraman hidup seperti diriku. Mereka begitu bahagia, menikmati hidup yang damai dengan segala kemewahan dan kebahagiaan yang mampu mereka rasakan. Dan aku juga menangis di dalam hati ketika menyaksikan mereka memandangku dengan begitu rendah, penuh kesinisan dan seolah aku ini sosok yang tak punya perasaan. Aku membenci mereka! Meskipun aku berkawan akrab dengan mereka dan terkadang juga membutuhkan mereka, namun jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku membenci mereka...

Aku membenci Ricky yang selalu menganggapku sebagai manusia yang dapat diperintah apapun dengan uangnya. Aku memang membutuhkan uangnya, tetapi aku juga butuh dimanusiakan, aku butuh dianggap tidak sebatas sebagai pesuruh yang dapat dibayar dengan uang, tapi aku butuh dianggap sebagai kawan...

Aku membenci Nirina yang selalu menatapku dengan sinis, seolah aku ini seonggok kehinaan di matanya. Aku membenci Edi yang selalu menjadikanku bahan keusilannya. Setiap kali dia iseng ingin mengerjai seseorang, aku selalu dijadikannya sasaran dan dia tak pernah peduli akibatnya terhadap diriku.

Aku tahu kalau seseorang yang menelepon malam-malam ke villa dan berbicara seperti ayahku itu sebenarnya Edi yang sengaja mengerjaiku agar aku ketakutan. Pernahkah dia berpikir bahwa aku benar-benar ketakutan meski aku menyadari bahwa itu bukanlah ayahku...? Aku sampai menghabiskan beberapa butir obat tidur malam itu agar aku dapat tidur dan melupakan ketakutanku...

Aku membenci Renata yang menganggapku sebagai anak kecil dan menanggapi pernyataan cintaku seolah sebagai gurauan belaka. Sejujurnya, aku mencintainya, sungguh-sungguh mencintainya. Dan salahkah aku jika aku mencintainya?

Bukankah aku hanya mencintainya dan dia berhak menerima atau menolakku? Tapi mengapa dia malah menganggapku telah gila hanya karena aku mencintainya? Dia tak pernah menganggapku ada, dan dia begitu mudah menepiskan aku, tak menghiraukan perasaanku, seolah aku ini salah satu bocah gila yang lepas dari rumah sakit jiwa.

Aku membenci Jefry yang begitu mudah mengancamku hanya karena aku jatuh cinta kepada Renata. Mungkin di matanya aku sama sekali tak berarti, tak punya harga dan tak punya sesuatu pun yang pantas dihargai. Dia menyuruhku menjauhi Renata seolah aku ini anjing buduk yang kotor dan hina, sementara Jefry tak pernah mau berkaca untuk melihat dirinya sendiri. Apakah dia berpikir bahwa dia lebih mulia dari aku...?

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (65)