Misteri Villa Berdarah

Langkah Nirina terus menuju ke ruang belakang. Angannya membayangkan kamar mandi. Ya, mungkin dia bisa bersembunyi di sana, berlindung di sana...

Sekali lagi Nirina mencoba menengok ke belakangnya dan sosok mengerikan itu masih ada di belakangnya. Kini Nirina memperlebar langkahnya dan sekarang ia memasuki ruangan belakang yang diinginkannya. Tetapi langkah Nirina seketika terhenti ketika matanya menyaksikan sesuatu yang amat mengerikan di sana.

Di dekat kamar mandi nampak tubuh Jefry, Ricky, dan Heru bergelimpangan di sana dengan tubuh penuh darah dan warna merah nampak mengalir kemana-mana. Dan saat Nirina melayangkan pandangannya, Nirina pun menyaksikan tubuh Edi juga tergolek tak bergerak di atas lantai dengan darah yang sama membuncah di sekitar tubuhnya.

Mengapa bisa begini...? Mengapa semuanya mati...?

Sekarang Nirina telah terpojok. Dia tak bisa memasuki kamar mandi yang tadi dipikirnya dapat digunakannya untuk berlindung, karena di depan pintu kamar mandi ada tubuh-tubuh mengerikan yang menghalangi langkahnya. Mayat Jefry dan Heru seperti menjaga di depan kamar mandi itu dengan keadaan yang mengerikan di mata Nirina, dan dia tak punya sedikit pun keberanian untuk melangkahi mayat-mayat itu...

Nirina merasakan jantungnya berdetak dengan amat keras sementara kedua kakinya terasa lunglai. Ia merasa akan pingsan kembali namun ketakutan dan kepanikannya telah membuat pikirannya memaksanya untuk tetap tersadar. Saat Nirina berbalik untuk mencoba mencari jalan keluar lain yang dapat digunakannya untuk lari, Nirina telah berhadapan begitu dekat dengan sosok yang amat ditakutinya...

Sosok itu memandanginya, dan Nirina menyadari bahwa kini tinggal dirinyalah satu-satunya yang masih hidup dalam villa ini. Semua kawannya telah mati. Semuanya telah terbunuh dan Nirina yakin bahwa sosok mengerikan di hadapannya inilah yang telah membantai semua kawannya. Tapi mengapa...?

“Jangan...jangan bunuh aku...” rintih Nirina perlahan dengan suara yang begitu memelas ketakutan. Lilin yang menyala di tangannya semakin memendek dan Nirina merasakan jari-jarinya dilelehi cairan lilin yang terasa panas di kulitnya.

Tetapi sosok dalam keremangan kegelapan itu hanya menatapnya, mendekatinya satu langkah lagi, tanpa suara, dengan kapak tajam di tangannya yang masih meneteskan darah...

“Jangan bunuh aku,” rintih Nirina sekali lagi. Suaranya makin memelas. “Aku...aku mau melakukan apapun untukmu, tapi...tapi biarkan aku hidup... Jangan bunuh aku...”

Sekarang kapak tajam itu telah terangkat dan jarak mereka kini telah begitu dekat. Nirina tahu bahwa sekali kapak itu terayun kepada dirinya maka bisa dipastikan nasibnya akan sama dengan kawan-kawannya, mati dengan leher yang menganga mengerikan...

“Kumohon...jangan bunuh aku...” Nirina kini berlutut dengan amat memelas, meminta dikasihani, dan kini Nirina merasakan air matanya jatuh menetes di pipinya. Lilin di tangannya semakin memendek dan jari-jari Nirina semakin terasa panas dilelehi cairan lilin. Detak jantungnya yang semenjak tadi tak beraturan kini semakin tak karuan karena menyadari bahwa ajalnya telah semakin dekat. “Jangan bunuh aku...kumohon... Jangan bunuh aku...”

Tetapi tak ada jawaban untuk Nirina. Sosok di hadapannya hanya diam, memandanginya, penuh teror, dengan kapak yang masih terangkat di tangannya.

Nirina mencoba mengangkat wajahnya yang tertunduk, memandang sosok di hadapannya, berharap air matanya dapat mendatangkan iba, namun ketika pandangan mata mereka bertemu, kapak itu segera melayang, menghunjam leher Nirina dengan tanpa ampun.

Cccrrraaaassshhh...!!!

Lilin pendek di tangan Nirina terpental jatuh ke lantai, namun apinya tidak padam. Darah memercik kemana-mana dan tubuh Nirina roboh di lantai dengan bermandikan darah. Ruangan tempat berkumpulnya mayat Nirina dan kawan-kawannya seperti disapu dengan warna merah.

Nyala lilin di atas lantai kini telah padam. Hujan di luar seperti mulai berhenti, namun gelegar halilintar masih bersahutan. Anjing di kejauhan masih melolong, dan suara lolongannya terdengar semakin memanjang. Villa itu kini disaput kegelapan, tanpa sinar, tanpa cahaya...

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (62)