Misteri Villa Berdarah

Heru segera teringat akan hal itu. Ya, dia masih ingat soal lampu yang padam tiba-tiba itu dan dia pun masih ingat soal keluarnya Ricky mengambil lilin di mobilnya. Heru bahkan kini ingat bahwa waktu itu Nirina sempat ingin ikut keluar namun Ricky mencegahnya.

“Kalau begitu,” gumam Heru kemudian, “mungkin anak kunci itu masih ada pada Ricky...”

“Benar,” sahut Jefry langsung. Kini Jefry seperti menyaksikan secercah cahaya di matanya. “Kalau memang Ricky yang mengunci pintu villa ini, tentunya dia pula yang memegang anak kuncinya...”

Heru dan Jefry merasa sedikit punya harapan dengan kenyataan yang mereka pikirkan itu. Maka mereka pun kemudian segera beranjak menuju ke belakang untuk menggeledah saku-saku baju Ricky. Mungkin anak kunci itu masih ada di sana.

Dengan membawa sebatang lilin yang menyala, Heru dan Jefry melangkah berdampingan menuju ke ruang belakang. Di sana mereka masih mendapati sosok mayat Ricky masih tergeletak kaku dengan darah yang membasahi sekelilingnya. Jefry nampak bergidik kembali melihatnya dan ia lekas-lekas memalingkan muka.

“Kamu saja yang mencari kunci itu, Her,” kata Jefry kemudian sambil tetap memalingkan mukanya.

Heru tak punya pilihan lain. Meskipun dia sendiri merasa ngeri melihat mayat Ricky, tapi diberanikannya dirinya untuk mendekati tubuh itu. Perlahan-lahan disentuhnya saku jaket Ricky yang ternoda oleh darah dan diraba-rabanya dengan perasaan yang dag-dig-dug. Jefry memegangi lilin di tangannya dengan gemetaran.

Heru merasakan ada sesuatu yang keras di saku jaket itu, dan dia pun yakin kalau itu pasti anak kunci yang mereka cari-cari. Maka dimasukkannya jari-jari tangannya ke dalam saku jaket Ricky, dan segera diambilnya anak kunci itu.

“Oh, syukurlah,” gumam Heru dengan lega. “Anak kunci ini memang ada padanya.”

Jefry berpaling dan melihat sebuah anak kunci di tangan Heru. Wajahnya menunjukkan kelegaan yang luar biasa. Mereka akan bisa segera keluar dari villa terkutuk ini, pikirnya. Jefry segera menarik Heru untuk segera beranjak dari tempat itu. Ia sudah ingin secepatnya keluar dari villa ini.

“Tunggu sebentar, Jef,” kata Heru. “Aku butuh buang air kecil...”

“Oh sialan, kenapa tidak ditahan saja?! Kita harus keluar dari villa ini secepatnya, Her!”

“Tapi aku sudah tak tahan, Jef. Semenjak tadi sudah kutahan-tahan dan sekarang rasanya sudah mau jebol. Tunggu sebentar saja, oke?”

“Tapi...tapi, Her...” Jefry nampak bingung dan bergidik. Matanya melirik ke arah sosok mayat Ricky di atas lantai.

“Aku cuma mau masuk ke kamar mandi itu,” sahut Heru sambil menunjuk ke kamar mandi yang ada di hadapan mereka. “Aku tidak akan menutup pintunya dan kita tetap bisa dekat. Kamu cukup tunggu di sini dan aku akan cepat-cepat, oke?”

“Kuncinya...” kata Jefry lagi sambil memandangi anak kunci di tangan Heru.

“Nih,” kata Heru memberikan anak kunci itu pada Jefry. “Pegang yang erat, tapi kamu jangan tinggalkan aku.”

Jefry menerima anak kunci itu dan memeganginya erat-erat. Ia merasa anak kunci itulah yang akan menyelamatkan mereka dari dalam villa angker ini, dan Jefry pun akhirnya mau ditinggal Heru. Heru segera masuk ke kamar mandi, dan seperti yang dikatakannya tadi, Heru tidak menutup pintunya. Dia berdiri membelakangi Jefry yang ada di luar kamar mandi, sementara Jefry menunggu dengan perasaan was-was. Dia tak berani menengok ke belakangnya karena tak mau melihat mayat Ricky di belakangnya.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (58)