Misteri Villa Berdarah

Edi akan menjawab kembali, namun Heru segera menengahi, “Tenanglah, Ed. Kita tidak butuh keributan lagi malam ini.”

Nirina pun urung menuangkan teko tadi ke dalam gelasnya. Diletakkannya kembali teko itu di atas meja.

Heru menyulut rokoknya dengan nyala lilin di depannya, dan Jefry ikut-ikutan menyalakan rokok. Mereka kemudian saling berdiam diri di tempatnya masing-masing, seiring detak jarum jam yang semakin terasa nyaring di telinga.

“Mengapa Ricky lama sekali?” gumam Nirina perlahan.

Tapi tak ada yang menyahut. Masing-masing tenggelam dalam kesibukannya sendiri-sendiri. Jefry masih menenangkan Renata yang kini seperti kehilangan semua tenaganya, sementara Heru masih menghibur Cheryl yang ketakutan dalam suasana yang agak gelap seperti itu. Edi hanya diam mematung di kursinya.

Nirina lalu beranjak bangkit dari tempat duduknya. Ia meraih sebatang lilin di atas meja.

“Mau kemana, Nir?” tanya Heru.

“Mau ke belakang, nyusul Ricky,” sahut Nirina dengan tampang jutek.

“Berani sendirian?” tanya Heru lagi.

“Kamu mau menemani?”

Cheryl segera memegangi lengan Heru. “Kamu tetap di sini saja, Her. Aku takut...”

Nirina ingin meminta ditemani Jefry, tapi Jefry sepertinya juga berat meninggalkan Renata. Sementara Nirina agak bingung untuk meminta Edi menemaninya, karena saat ini Edi masih dianggap ‘tersangka’ yang meracuni gelas yang membuat Aryo tewas tadi. Akhirnya Nirina pun dengan nekat beranjak ke belakang sendirian. Toh di sana ada Ricky, pikirnya.

Sekarang di atas meja tinggal dua nyala lilin yang menerangi, dan suasana di ruang tengah itu terasa semakin gelap.

Tiba-tiba terdengar teriakan panik penuh ketakutan dari ruang belakang. Nirina terdengar menjerit-jerit kacau tak karuan.

“Kenapa dia?” tanya Jefry dengan bingung. Ia seperti akan beranjak dari tempat duduknya, tapi Nirina telah kembali dengan wajah yang kacau. Air matanya nampak bercucuran.

“Kenapa, Nir...?” tanya Heru.

“Dia...Ricky...mati!” jawab Nirina dengan wajah yang semakin kacau. “Ricky...dia... Oh…!” Lalu tubuh Nirina ambruk ke lantai. Lilin yang ada di tangannya terlepas dan apinya padam saat membentur lantai.

Heru dan Edi segera beranjak mendekati tubuh Nirina yang kini tergeletak di atas lantai, sementara Jefry dipegangi oleh Renata agar tidak menjauh dari dirinya.

“Dia pingsan,” terdengar suara Heru yang memeriksa keadaan Nirina.

Lalu Heru bersama Edi segera memburu ke belakang untuk melihat keadaan Ricky. Di ruang belakang, keduanya terpekik ngeri menyaksikan keadaan Ricky yang mengenaskan. Tak jauh dari pintu kamar mandi tergeletak tubuh Ricky dengan luka-luka yang mengerikan. Lehernya menganga seperti dihantam benda keras yang tajam, sementara darah terlihat muncrat kemana-mana. Lantai di sekitar itu pun sepertinya menjadi merah tertutup darah Ricky yang masih nampak mengalir dari luka menganga di lehernya.

“Oh...” desah Heru dengan ngeri menyaksikan pemandangan di hadapannya.

“Mengapa Ricky bisa begini?” tanya Edi dengan bingung. Seluruh tubuhnya terasa lemas kehilangan tenaga akibat kengerian dan keterkejutan itu.

Heru seperti tersadar tiba-tiba ketika ia berbisik panik, “Cepat pergi, Ed!”
Mereka lalu bergegas kembali ke ruang tengah, tempat Jefry, Renata dan Cheryl berada. Nirina masih tergeletak pingsan di lantai.

“Bagaimana, Her?” tanya Jefry yang masih dipegangi Renata dengan ketakutan.

“Ricky mati, Jef,” sahut Heru. “Sepertinya...dia...dibunuh!”

“Sssiapa yang membunuhnya?” bisik Cheryl dengan ketakutan.

“Aku tidak tahu,” sahut Heru dengan gemetar. “Sepertinya...ada orang lain dalam villa ini...”

“Maksudmu?” tanya Jefry terperanjat.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (51)