Misteri Villa Berdarah

Sambil menunggu Ricky mengambil lilin, Edi ikut menyalakan korek gas seperti Heru agar ruangan itu tidak terlalu gelap. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu mobil yang dibanting, lalu suara pintu depan villa yang ditutup kembali. Ricky pasti telah kembali.

Ricky datang dengan tubuh yang agak basah karena tertimpa hujan yang deras menguyur di luar. Di tangannya ia membawa satu bungkus lilin yang langsung dinyalakan di atas meja. Enam buah lilin itu kini menyala, memberikan sedikit penerangan di ruangan itu. Suasana jadi terasa begitu mencekam. Di dalam villa yang terasing, di dalam ruangan yang gelap, diterangi dengan nyala-nyala lilin yang redup. Ditambah lagi dengan perasaan ngeri karena di dekat mereka ada sesosok mayat dalam sebuah kamar...

“Kamu sudah menghubungi polisi, Rick?” tanya Jefry.

“Teleponnya tidak fungsi,” jawab Ricky.

“Apa?” tanya Edi dengan terkejut. “Kan kamu bilang kalau telepon di sini bisa digunakan?”

“Iya,” jawab Ricky, “biasanya bisa digunakan, tapi tidak tahu, sekarang tidak bisa lagi!”

“Ada-ada saja,” gumam Heru.

“Kenapa jadi begini, sih?!” tanya Jefry dengan kebingungan.

Ricky terlihat gelisah, namun yang lain pun menunjukkan kegelisahan yang sama. Sementara detak-detak jarum jam terus bergerak.

“Kamu punya persediaan lilin yang lain, Rick?” tanya Heru.

“Tidak, cuma itu,” sahut Ricky sambil menatap ke arah lilin-lilin yang menyala.

“Kalau begitu jangan kita sulut semua,” kata Heru lagi. “Kalau semua lilin ini sudah padam dan listrik belum nyala lagi...”

“Her, aku takut...” sela Cheryl sambil memegangi lengan Heru dengan erat. Dia selalu takut dalam kegelapan. Tempat yang gelap selalu membuat bulu kuduknya merinding.

Jefry yang tadi sempat memahami maksud ucapan Heru kini mulai memadamkan dua lilin di atas meja. Merasakan suasana yang agak gelap, suram dan mencekam itu membuat Jefry agak bergidik. Ia lalu bergumam, “Sebaiknya kita bawa saja mayat Aryo keluar dari villa ini...”

“Kamu mau membawanya, Jef?” tanya Ricky menantang.

“Kita bawa bersama!” jawab Jefry dengan dongkol. “Seharusnya kita memang sudah membawanya ke rumah sakit sejak tadi!”

“Seharusnya!” sentak Ricky dengan jengkel pula. “Tapi tadi kamu malah ribut terus sama Edi sampai kita lupa melakukan hal itu! Sekarang hujan lebat sekali dan telepon sama sekali tidak fungsi...”

“Kenapa telepon jadi tidak fungsi hanya karena hujan lebat dan lampu mati?” gumam Cheryl lirih, tapi tak ada yang menanggapi.

Kini tinggal empat lilin yang menyala di atas meja, dan suasana semakin terasa gelap, suram dan mencekam. Ricky terlihat gelisah sekali di atas tempat duduknya.

“Ada apa, Rick?” tanya Heru yang menangkap kegelisahan itu. “Kamu kelihatan gelisah sekali?”

Ricky tergagap. “A-aku...perutku sakit. Aku butuh ke kamar kecil, tapi...”

Heru pun langsung paham. Ricky pasti takut ke kamar kecil di belakang karena itu berdekatan dengan kamar tempat mayat Aryo berada.

“Aduh, aku tak tahan lagi,” rintih Ricky kemudian sambil memegangi perutnya. Ia lalu beranjak buru-buru ke belakang tanpa sempat minta diantar atau ditemani siapapun. Disambarnya sebatang lilin yang menyala untuk menerangi jalannya.

Sepeninggal Ricky, Nirina meraih teko teh di atas meja dan menuangkannya ke dalam gelas di depannya.

“Nir,” ucap Jefry tiba-tiba, “jangan minum apapun dulu. Kita harus jaga-jaga...”

“Jef!” teriak Edi dari tempatnya karena merasa dituduh oleh ucapan itu.

“Aku tidak menuduhmu, sialan!” sahut Jefry. “Tapi siapa yang menjamin kalau minuman lain di sini bebas racun?”

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (50)