Misteri Villa Berdarah

Nirina seperti terkejut dengan usulan itu. “Kenapa kita tidak berpikir itu sejak tadi? Seharusnya kita bawa mayat Aryo ke rumah sakit biar...”

“Tidak perlu,” potong Ricky. “Aryo sudah jelas mati dan kita bisa membawanya besok. Sekarang sudah dini hari, di luar hujan lebat, dan butuh waktu berjam-jam melewati jalan yang gelap dan naik turun untuk bisa mencapai rumah sakit terdekat. Tidak tersesat saja kita sudah untung.”

“Tapi...” Nirina masih membantah.

“Tidak ada perlunya, Nir,” potong Ricky kembali. “Aryo tidak bisa hidup lagi meski kita berusaha membawanya ke rumah sakit!”

“Kalau begitu kita harus lapor polisi!” usul Heru lagi.

“Kenapa pikiran seperti itu baru muncul sekarang, sih?” tanya Cheryl dengan heran di samping Heru. Keadaan-keadaan yang terjadi secara tiba-tiba dan penuh ketegangan tadi telah membuyarkan akal sehat mereka hingga tidak ada yang sempat memikirkan langkah bijak untuk menangani mayat Aryo.

“Ponsel kita sudah tak ada sinyal,” sahut Ricky. “Mau menghubungi polisi pakai apa?”

“Kan di sini ada telepon,” sahut Edi yang masih ingat kalau villa itu dilengkapi telepon.

“Oh, iya!” kata Ricky seperti baru teringat akan hal itu. “Baiklah, sekarang juga aku hubungi polisi!” Lalu Ricky pun segera beranjak mendekati pesawat telepon di atas bufet.

Renata masih terisak-isak di dalam pelukan Jefry. “Aku kan sudah bilang sama kamu, Jef, sebaiknya kita tidak usah ikut acara ini...” katanya sambil terisak. “Tapi kamu tidak mau mendengar permintaanku... Akibatnya seperti ini...”

Jefry tak dapat menjawab apa-apa. Ia masih sibuk sendiri dengan pikirannya. Dia masih percaya kalau Edi yang telah membubuhkan racun itu ke dalam gelas Renata, tapi mengapa Edi melakukan hal itu...?

“Sebaiknya bawa Renata ke kamar, Jef,” kata Heru. “Dia sepertinya shock...”

Tanpa berkata apa-apa, Jefry pun menuruti saran Heru. Dibawanya Renata menuju ke kamar yang ada di dekat ruang mereka, sementara kawan-kawannya yang lain menatapnya dengan pandangan hampa. Mengapa malam tahun baru yang direncanakan indah itu bisa rusak seperti ini?

Di dekat pesawat telepon, Ricky terlihat kesal memencet-mencet tombol di telepon. Handel telepon telah terjepit di antara bahu dan telinganya. “Kenapa telepon ini jadi tidak fungsi?” gumamnya sendirian.

Saat Jefry dan Renata telah berada di dalam kamar dan pintu kamar nampak mulai menutup, tiba-tiba seluruh lampu yang ada di villa itu padam seketika. Ruangan yang sejak tadi terang-benderang kini berubah menjadi gelap-gulita.

Cheryl yang takut dengan kegelapan terdengar berteriak ketakutan sementara Heru mencoba menenangkannya.

“Mengapa listrik tiba-tiba padam, Rick?” terdengar suara Edi.

“Tidak tahu, mungkin dari PLN-nya,” sahut Ricky dalam kegelapan. Ia masih ada di dekat pesawat telepon.

“Sialan!” terdengar makian Jefry yang kini keluar kembali dari dalam kamar. “Kenapa jadi gelap begini?!”

Heru meraih korek gas di dekatnya dan dinyalakannya korek gas di tangannya. Nyala api kecil itu sedikit menerangi ruangan mereka, tapi kegelapan masih amat menyelimuti.

“Tidak ada lilin di sini?” tanya Heru dengan bingung.

“Untung kamu bilang, Her,” sahut Ricky. “Ada beberapa lilin di mobilku. Biar aku ambil sebentar.” Ricky lalu meletakkan kembali handel telepon di tempatnya dan beranjak dari tempatnya.

“Aku ikut,” kata Nirina sambil beranjak bangkit.

“Kamu tunggu di sini saja, Nir,” sergah Ricky.

Nirina pun duduk kembali di kursinya dengan cemberut, dan Ricky mengambil kontak mobilnya di atas meja.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (49)