Misteri Villa Berdarah

31 Desember,
dua hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...

Ricky memang sengaja membawa sebuah jam dinding besar untuk ia tinggalkan di villa itu. Dan sekarang jam dinding besar itu telah tergantung di salah satu bagian dinding di ruang tengah. Kebetulan ada sebatang paku yang menancap di sana dan Ricky pun menggunakan paku itu untuk menggantungkan jam dindingnya. Semua kawannya memandangi jam dinding berwarna putih itu, dan kini jarum jam menunjukkan pukul 23:35. Jarumnya terus bergerak.

“Setengah jam lagi,” kata Jefry sambil memeluk bahu Renata yang duduk di sebelahnya.

Mereka kini berkumpul di ruang tengah yang terasa lebih hangat dibanding dengan ruang depan. Di ruangan itu ada satu set meja kursi dari kayu dengan bentuk dan model yang kuno namun nyaman diduduki. Kursi-kursinya berukuran panjang dan bisa ditempati dua orang.

Jefry duduk bersama Renata, Heru bersama Cheryl, dan Ricky bersama Nirina. Sementara Edi duduk berdua bersama Aryo. Di atas meja yang cukup besar di hadapan mereka nampak gelas-gelas dan teko berisi kopi dan juga teh yang telah banyak berkurang. Makanan kecil dan juga sisa-sisa bungkusnya terhampar di hampir seluruh ruangan meja.

“Baru kali ini aku menikmati malam tahun baru yang sepi seperti ini,” kata Nirina sambil mendekatkan tubuhnya pada Ricky.

“Benar-benar beda dari biasanya, kan?” kata Ricky. “Tidak ada kebisingan, tidak ada keramaian, tidak ada suara apapun...”

“Menurutku malah lebih enak seperti ini,” sahut Edi yang duduk di sebelah Aryo.

“Iya, suasananya begitu hening...sepi...” bisik Cheryl dalam rangkulan tangan Heru.

“Saat ini, di Jakarta pasti tengah ramai-ramainya,” kata Jefry. “Ancol pasti sudah penuh sesak.”

“Sayang, ya, di sini tidak ada televisi,” kata Heru. “Kalau ada, kan kita bisa melihat suasana kota kita...”

“Tapi lebih baik tidak usah lihat saja, Her,” sahut Nirina. “Nanti malah mengganggu konsentrasi kita. Lebih enak seperti ini. Heniiiing banget...”

Suasana memang begitu hening, bahkan detak jarum jam di dinding pun terdengar begitu nyaring di telinga mereka. Ricky dan Nirina melihat jam dinding itu karena arah pandangan mereka tepat di hadapan jam di dinding itu. Dan kini jarum jam menunjukkan pukul 23:55.

“Lima menit lagi kita memasuki tahun baru,” kata Ricky dengan suara yang khidmat seperti pendeta yang akan memulai khutbahnya. “Sesaat lagi kita akan memasuki hari baru, tanggal baru, juga tahun yang baru...”

Kawan-kawannya menanggapi ucapan itu dengan sikap yang sama khidmatnya. Menanti detik-detik pergantian tahun adalah saat-saat yang menyenangkan, mendebarkan, sekaligus membahagiakan. Dimana-mana, mereka tahu, detik-detik pergantian tahun selalu dirayakan dengan berbagai macam cara namun tetap memiliki satu bentuk yang sama; meninggalkan tahun yang lama, dan menyambut datangnya tahun yang baru.

Dan sekarang mereka juga tengah menantikan detik-detik pergantian tahun itu, hanya saja dalam suasana yang amat berbeda dari biasanya. Mereka menantikan detik-detik pergantian tahun itu dengan mendengarkan detak jarum jam di dinding yang terus bergerak menuju angka dua belas, di tengah suasana yang begitu hening dan sepi.

Tetapi kemudian terdengar suara bisikan Renata pada Jefry, “Jef, perasaanku tidak enak sekali...”

“Tuh, mulai lagi, deh,” sahut Jefry sambil mencoba menenangkan pacarnya.

“Tapi...aku berdebar-debar terus, Jef.”

“Mungkin kamu kebanyakan minum kopi,” jawab Jefry asal-asalan.

“Aku kan tidak minum kopi? Sejak tadi aku minum teh terus!”

“Kamu mau tiduran? Mungkin kamu pusing setelah perjalanan tadi.”

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (44)