Misteri Villa Berdarah

Edi nampak lunglai di tempat duduknya. Ia bergumam perlahan, “Mengapa ada tanda-tanda yang sama terus...?”

“Tanda apa, Ed?” tanya Heru yang tak paham dengan maksud Edi.

Edi mematikan puntung rokoknya di asbak, lalu berkata perlahan, “Waktu kita baru keluar dari daerah Jakarta, ada seekor kucing hitam yang melintas di depan mobil kami. Kamu ingat, kan, Jef?” tanya Edi sambil menengok ke arah Jefry.

“Iya,” Jefry mengangguk, “aku nyaris saja menabraknya.”

“Nah,” sambung Edi, “bukannya aku mau percaya sama takhayul, tapi konon menurut orang-orang tua, kucing hitam yang melintas di depan perjalanan kita itu semacam pertanda agar kita menunda atau membatalkan perjalanan. Tapi kita kan tidak melakukan itu. Kita terus saja melanjutkan perjalanan. Lalu kalian dihadang oleh ular—ular besar—apakah warnanya juga hitam?” kali ini Edi menujukan pandangannya pada Heru dan Ricky.

“Ya, hitam belang-belang,” sahut Ricky yang masih ingat betul sosok ular yang tadi sempat membuatnya shock itu.

“Nah, kehadiran ular yang berhenti di depan mobil kalian itu pun sepertinya ingin menegaskan agar kita menghentikan perjalanan kita, atau membatalkan niat kita semula. Tapi...kita lanjut terus...”

“Mengapa kamu tidak ngomong seperti itu semenjak tadi, Ed?” kecam Jefry sambil bergidik ngeri di tempat duduknya.

“Aku kan sudah bilang sama kamu, Jef, waktu ada kucing hitam itu melintas, tapi kamu tidak merespon aku,” bantah Edi.

“Lho, seingatku waktu itu kan kamu cuma bilang kalau perasaanmu tidak enak,” jawab Jefry.

“Dan kamu cuma diam saja, kan? Kamu tidak merespon ucapanku, dan kupikir kamu tidak akan percaya kalau aku ngomong hal yang seperti itu.”

Mereka semua menjadi hening sesaat, lalu Aryo yang semenjak tadi diam tiba-tiba nyeletuk, “bbb-ban....kke-kempes!”

“Nah, itu dia,” respon Edi langsung. “Dua kali pertanda menghadang kita, kucing hitam dan ular hitam itu. Tapi kita tidak peduli. Lalu ban mobil Jefry kempes. Baru saja ban itu berhasil diganti, giliran ban mobil Ricky yang kempes, bahkan ketika kita sudah hampir sampai di villa ini. Menurutku...itu sudah pertanda yang sangat jelas sekali...”

“Jadi maksudnya apa, Ed?” tanya Heru yang sepertinya masih belum bisa menangkap makna dari semua yang diocehkan Edi.

“Maksudnya, kita ini seharusnya tidak melanjutkan perjalanan kita ke sini. Itu artinya, sebaiknya kita membatalkan rencana perjalanan kita tadi sebelum kita sampai di tempat ini.”

Sekali lagi suasana hening menyelimuti mereka. Wajah-wajah mereka terlihat tegang tapi tak tahu harus berkata apa, sementara ketiga cewek yang meringkuk di atas sofa panjang kelihatan menunjukkan ekspresi ketakutan.

Edi yang melihat tampang kawan-kawannya terlihat begitu tegang seperti itu jadi merasa bersalah sendiri. Mengapa dia sampai terbawa emosi untuk mengatakan semuanya itu? Maka Edi pun lalu mencoba menetralisir keadaan dengan berkata, “Tapi...itu semua kan belum tentu. Hm, maksudku, kita kan boleh tidak percaya dengan hal-hal yang semacam itu. Bisa saja itu sesuatu yang kebetulan...”

Tetapi upaya Edi untuk menurunkan tensi ketakutan itu kemudian malah dipatahkan oleh Jefry ketika tiba-tiba dia ngomong sesuatu yang di luar dugaan kawan-kawannya, “Aku jadi teringat pada Abraham Lincoln...”

“Siapa, Jef?” Ricky menatap Jefry seperti ingin memastikan telinganya tidak salah dengar. Jefry menyebut nama siapa tadi?

“Abraham Lincoln, Rick,” jawab Jefry dengan sebal sekaligus nyengir jengkel. “Kamu kira aku tidak kenal dia?”

“Dan ada apa dengan...hm, Abraham Lincoln?” tanya Heru sambil nyengir pula. Dia pun tidak menduga sama sekali kalau Jefry bisa kenal dengan Abraham Lincoln, apalagi sampai menyebutkan namanya. Apakah ini Lincoln yang karnet angkot tetangga Jefry?

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (42)