Misteri Villa Berdarah

Ricky segera mengangkat kedua tangannya. “Sori, Ar, ada banyak hal yang membuat kami jadi terlambat seperti ini.”

“Ban mobilku kempes,” sambung Jefry mencoba membantu memberi penjelasan. “Terus ban mobil Ricky juga kempes. Aku bawa ban serep, tapi Ricky tidak bawa. Akibatnya aku harus turun lagi ke bawah untuk menambalkan ban mobilnya Ricky.”

“Biasanya aku naruh ban serep di bagasi,” sambung Ricky, “tapi sekarang bagasi mobilku diisi bir dan aku terlupa bawa ban serep.”

“Kkkok bbi-bisa-bisanya ban mmmobil kka-kalian kkkempes sssemua??!” tanya Aryo seperti belum puas mendengar penjelasan itu.

Jefry cuma nyengir. “Sebaiknya kamu tanyakan sendiri tuh sama mereka,” katanya kemudian sambil menunjuk kedua mobil di belakangnya.

Aryo hanya memaki-maki tak jelas, tapi akhirnya ikutan nyengir juga.

Mereka lalu mengangkuti dus-dus makanan dan minuman dari dalam mobil Jefry, sementara Ricky mengangkat krat bir dari dalam bagasi mobilnya. Dalam benak mereka membayangkan bisa menikmati keheningan dan kedamaian suasana di villa ini sampai dua hari mendatang, melupakan Jakarta yang bising, macet, dan penuh polusi.

Di langit, mendung nampak menggantung.

***

31 Desember,
dua hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...

Keadaan villa itu memang telah jauh berbeda dengan saat pertama kali dilihat Ricky dan Edi kemarin saat mengantarkan Aryo datang ke sana. Aryo memang benar-benar telah melakukan tugasnya dengan sangat baik. Sekarang villa itu begitu nyaman dihuni, dan Ricky serta kawan-kawannya pun merasa begitu tenteram di dalamnya. Semua terpal yang menutupi perabotan dalam villa itu telah dilepas, dan kini mereka bisa duduk dengan nyaman di atas sofa ruang depan sambil menikmati makanan dan minuman yang telah mereka bawa dari Jakarta.

Cheryl, Nirina dan Renata telah nampak begitu segar dan cantik karena mereka langsung mandi begitu sampai di villa. Mereka sekarang duduk bersama dalam satu sofa panjang. Heru dan Ricky juga telah mandi, hanya Jefry dan Edi yang nampak masih kuyu. Jefry masih capek setelah menyetir setengah harian, sementara Edi mengatakan, “Belum mandi saja sudah dingin seperti ini, apalagi kena air?!”

Di atas meja nampak gelas-gelas berisi teh hangat dan juga kopi. Mereka memang telah mempersiapkan segalanya. Ada beberapa termos air panas, kopi instan dan juga teh celup. Mereka pun tak takut kehabisan makanan, karena kalau mereka sampai kehabisan bekal, mereka bisa turun sebentar untuk mendapatkan nasi atau makanan lain di warung makan yang ada di bawah.

Jefry menuang energy drink dari botol ke dalam gelasnya, kemudian menghabiskannya dengan sekali teguk. Lalu disulutnya rokoknya sambil menyandarkan punggung pada sofa.

“Rick, kenapa tadi mobilmu sempat berhenti lama di tengah jalan itu?” tanya Jefry kemudian setelah menghembuskan asap rokoknya.

Ricky nampak kebingungan untuk menjawabnya. Haruskah dia menceritakan soal ular tadi di depan cewek-cewek ini? Tapi kemudian dia berpikir kalau sekarang tentunya cewek-cewek itu tak akan terlalu panik karena itu sudah berlalu. Maka Ricky pun kemudian menjawab dengan jujur, “Ada ular yang tadi sempat berhenti di depan mobilku.”

“Ular…?” ulang Jefry dan Edi serempak, sementara ketiga cewek yang ada di atas sofa panjang nampak terkesiap.

“Ular besar,” sambung Heru. “Dia, maksudku ular itu, berhenti dan melingkarkan tubuhnya tepat di depan mobil kami.”

“Hiiih...!” Cheryl nampak bergidik ngeri.

“Kok aku tidak lihat, Her?” tanya Renata yang langsung ingat peristiwa berhentinya mobil mereka di tengah jalan tadi.

“Dia menghilang,” jawab Heru pelan.

“Dia…apa?!” tanya Jefry sambil tersedak asap rokoknya sendiri.

“Hm, begini,” Ricky mencoba menurunkan efek dramatisasi cerita itu, “waktu kalian turun dari mobil itu, aku sama Heru kan meminta kalian untuk masuk kembali. Nah, waktu itu mungkin ular tadi berjalan lagi, dan kami pun tidak lihat dia lagi di depan mobil...”

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (41)