Misteri Villa Berdarah

Maka diambilnya tabloid di atas meja, lalu dibukanya halaman yang terdapat iklan party line, kemudian dipelajarinya satu persatu. Ada iklan-iklan yang nampak sopan dengan gambar yang cukup artistik, namun banyak juga yang iklannya sangat vulgar dengan gambar-gambar seronok yang amat menantang rasa penasaran. “Kesepian dan butuh teman? Mengapa tidak gabung dengan pesta kami? Telepon segera di 0809...” “Sendirian? Butuh teman kencan? Aku siap menemani kamu! Call aku ya di 0809...” “Aku merindukan kehangatanmu, Sayang... Please, hubungi aku segera di 0809...”

Aryo merasa salah satu iklan di situ cukup menggoda rasa penasarannya. Ah, peduli setan kalau nanti pulsa teleponnya membengkak. Biaya yang dibebankan untuk memakai layanan party line itu menggunakan pulsa premium, tapi Aryo yakin kalau Ricky tak akan terlalu meributkannya kalau dia bisa menjelaskan bahwa dia sangat kesepian dan tidak bisa menghubungi kawannya satu pun karena tidak hafal satu pun nomor telepon mereka.

Aryo turun dari springbed dan melangkah keluar dari kamar sambil tersenyum sendiri. Tetapi baru saja Aryo mendekati pesawat telepon di atas bufet, pesawat telepon itu telah berbunyi.

“Krrriiiiiiiingg...!!!”

Aryo tersentak mundur karena terkejut. Mengapa telepon sialan itu seperti tahu kalau aku akan menggunakannya?

“Krrriiiiiiiingg...!!!” telepon itu masih berbunyi.

Aryo memandangi pesawat telepon di atas bufet dengan bingung sambil merasakan bulu kuduknya yang tiba-tiba merinding. Siapa yang menghubunginya malam ini? Ricky? Edi? Mengapa tubuhku jadi merinding seperti ini...?

Angin tiba-tiba berhembus dengan kencang, menerbangkan tirai gorden di jendela depan. Aryo masih berdiri mematung di dekat pesawat telepon itu sementara telepon masih saja tetap berdering.

Akhirnya, dengan sedikit takut-takut, Aryo mengangkat handel telepon itu dan mendekatkannya ke telinganya.

“Hhha-halo...?” sapanya dengan tergagap.

Tak ada suara di seberang sana. Aryo mencoba mendengarkan dengan lebih seksama. Apakah telepon ini ada kerusakan?

“Hhhha-hallo...? Ssssi-siapa...?!” sapa Aryo lagi.

Tiba-tiba terdengar suara di seberang sana. Sebuah suara yang berat, penuh ancaman, “Aku sudah mengatakan kepadamu agar kamu tutup mulut! Tapi kamu melanggarnya...!”

“Ssssi-siapa...?!” Aryo tergagap ketakutan.

Suara di seberang sana masih menggeram menakutkan, “Tunggulah janjiku! Aku tahu dimana pun kamu berada. Aku akan membunuhmu!”

Kemudian hubungan terputus. Angin menderu kencang. Aryo terduduk lemas di dekat pesawat telepon tanpa sempat meletakkan handel telepon pada tempatnya semula.

Siapakah itu? batinnya dengan galau. Apakah itu ayahku? Apakah aku sekarang tengah bermimpi dan dia kembali hadir dalam mimpiku? Tapi Aryo tahu kalau sekarang dia belum tidur dan itu bukanlah mimpi.

Hujan tiba-tiba turun dengan deras dan suaranya menggemuruh di atas villa itu. Dengan ketakutan, Aryo segera meletakkan handel telepon pada tempatnya lalu berlari menuju ke dalam kamarnya kembali. Dengan napas yang memburu dia naik ke atas springbed lalu meminum sisa minumannya dalam kaleng. Lalu dengan tangan yang gemetaran disulutnya sebatang rokok di mulutnya. Keinginan untuk menelepon party line tiba-tiba lenyap dalam otaknya. Siapakah yang telah menelepon itu...?

Halilintar menggelegar dan Aryo merasakan tubuhnya gemetaran. Oh sialan, rutuknya, mengapa aku mau ditinggal sendirian dalam villa keparat ini?!

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (34)