Misteri Villa Berdarah

Heru cuma nyengir. “Kamu bertanya seperti kamu sendiri tidak pernah berantem!”

Jefry tertawa. “Pasti masalahnya karena Cheryl,” katanya kemudian.

“Kamu sudah dengar sendiri.”

“Her,” ucap Jefry sungguh-sungguh, “menurut Renata, Cheryl memang sudah bertunangan dengan Rino.” 

“Aku tahu,” jawab Heru acuh tak acuh.

“Kamu tahu?!” ulang Jefry sambil membelalak. “Dan kamu tidak merasa bersalah mendekati tunangan orang lain?”

“Mereka baru bertunangan, kan?”

“Sinting!” rutuk Jefry. “Dengar, Her, bukannya aku mau membela si Rambo itu, tapi aku sendiri bakal tidak terima kalau ada cowok lain yang mencoba mendekati pacarku, meski kami baru sebatas pacaran!”

“Tapi Cheryl mengatakan padaku bahwa pertunangan itu dipaksakan, Jef.” Heru mencoba mencari celah bagi pembenaran perilakunya. “Cheryl sendiri tidak suka dengan si Rambo dan dia sama sekali tidak setuju atas pertunangan itu.”

“Itu bukan urusanku, oke?” Jefry mengangkat bahunya. “Tapi kan masih banyak cewek lain yang bisa kamu dekati selain si Cheryl?”

“Dan mengapa Cheryl mau aku dekati?” balas Heru keras kepala.

“Kamu memang playboy brengsek!” rutuk Jefry akhirnya sambil tertawa. Ia lalu melangkah menuju mobilnya karena ia ingat kalau tujuannya kemari adalah untuk mengambil rokoknya yang tertinggal dalam mobil.

Jefry baru saja menyulut rokoknya ketika mobil Blazer milik Ricky memasuki areal parkir kampus itu. Ricky terlihat turun dari mobil bersama Nirina seperti biasa. Mereka saling sapa, dan saat melihat wajah Heru sedikit lebam, Ricky menatapnya sambil mengernyit.

“Kenapa mukamu?” tanya Ricky sambil memperhatikan wajah Heru.

Heru yang baru menyadari ada yang lain di wajahnya segera mengusapkan tangannya pada wajahnya, sementara Jefry menyahut sambil tertawa, “Barusan dia berantem sama si Rambo!”

“Rambo siapa?” tanya Ricky tidak paham.

“Itu, cowoknya Cheryl,” jawab Jefry.

“Oo, Rino,” sahut Nirina memberitahu Ricky.

Ricky nampak senyum-senyum memandangi wajah Heru. Dia juga tahu siapa Rino. Ia lalu berujar, “Makanya, kalau cari mangsa, lihat-lihat pawangnya. Jangan asal terkam!”

Heru jadi salah tingkah dipandangi seperti itu, apalagi Nirina juga ikut-ikutan memandangi wajahnya.

“Sudah, kalian tidak usah pandangi aku seperti itu,” kata Heru kemudian dengan jengkel. “Aku jadi merasa kalau baru ketangkap karena maling jemuran!”

Jefry dan Ricky tertawa terbahak-bahak, sementara Nirina hanya tersenyum. Mereka lalu melangkah bersama memasuki areal kampus.

Jefry lalu bertanya pada Ricky, “Kamu sudah kirim si Gagap ke villamu, Rick?”

“Sudah, kemarin aku sama Edi mengantar dia ke sana,” jawab Ricky.

“Jadi, kapan kita akan berangkat ke sana?”

“Besok, jam tujuh, kalian semua kumpul di rumahku, lalu kita berangkat langsung.” Ricky menjelaskan. “Sebaiknya kamu juga bawa mobil, Jef, biar kita tidak terlalu berdesak-desakan.”

“Cukup dua mobil?” tanya Heru. “Aku tidak perlu bawa juga?”

“Halaman villaku tidak terlalu luas,” jawab Ricky. “Lagi pula dua mobil juga sudah cukup.”

Di depan ruangan kelas, nampak Edi yang telah duduk dengan asap rokoknya. Dia tengah menantikan kedatangan dosennya sambil menikmati sisa-sisa puntung rokoknya. Saat melihat kedatangan Ricky dan kawan-kawannya yang lain, pandangan Edi segera tertuju pada wajah Heru yang sedikit lebam.

“Kenapa mukamu?” tanya Edi sambil memperhatikan wajah Heru.

“Sialan,” rutuk Heru. “Apakah mukaku memang telah banyak berubah?!”

“Seharusnya tadi kamu ngaca dulu, Her,” ujar Jefry sambil tersenyum. “Kamu juga bakal pangling kalau sudah lihat mukamu sendiri.”

“Sialan!” rutuk Heru sekali lagi, lalu bergegas menuju ke kamar kecil. Mungkin wajahnya perlu dibasuh dengan air, pikirnya, dan di sana ada cermin kecil yang dapat digunakannya untuk memeriksa wajahnya.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (31)