Misteri Villa Berdarah

Rino nampak berjalan mendekati Heru, dan melihat ekspresi wajahnya, Heru tahu kalau Rino pasti ingin membahas soal Cheryl, tunangannya itu. Heru telah mengantisipasi hal itu. Selama berkarir sebagai playboy selama ini, Heru telah kenyang dengan pengalaman seperti ini.

“Hai, Rin,” sapa Heru dengan wajah yang diusahakan tetap tenang tanpa dosa. Sebelum ini, Heru telah saling kenal dengan Rino dan mereka biasa saling sapa sewajarnya bila kebetulan berpapasan.

Rino langsung masuk ke pokok persoalan. “Her, kamu tahu kalau Cheryl itu tunanganku, kan?”

“Cheryl telah menceritakannya kepadaku,” jawab Heru dengan santai. Dia malah masih sempat menyulut rokoknya.

“Nah, aku minta kamu tidak mengusik-usik tunanganku!” ujar Rino dengan suara yang berat.

“Sepertinya Cheryl tidak merasa terusik.”

“Aku yang terusik, sialan!” bentak Rino dengan kasar.

Heru hanya tersenyum. “Itu salahmu sendiri mengapa kamu harus merasa terusik. Mengapa kamu tidak nyantai saja?!”

“Dengar, Her,” kali ini suara Rino semakin berat, ia sepertinya menahan amarahnya sebisanya, “kamu bisa mendekati cewek manapun di kampus ini, tapi tolong jangan ganggu hubungan kami!”

“Rin,” sahut Heru sambil menghembuskan asap rokoknya, “aku mendekati Cheryl secara baik-baik, dan aku sama sekali tidak punya niat untuk mengganggu hubungan kalian. Kenapa kamu punya pikiran seburuk itu?!”

“Karena kamu playboy sialan!” rutuk Rino dengan sangat marah.

“Dan kamu pikir kamu siapa?!” balas Heru sambil tersenyum mencemooh. Dia masih tak berbuat apa-apa selama Rino tetap tak menyentuhnya. Dan Rino pun sepertinya masih berusaha untuk dapat menahan amarahnya sendiri.

“Aku tunangannya, brengsek!”

“Tapi Cheryl tak merasa kalau dia tunanganmu!”

“Apa maksudmu?!” Rino membelalak marah. Kali ini dia sepertinya semakin sulit menahan amarahnya.

“Kenapa tidak kamu pikir sendiri?!” jawab Heru seenaknya.

Kali ini jebol sudah pertahanan Rino. Heru yang sepertinya sama sekali tak menanggapinya dengan baik dan bahkan terkesan mencemoohkannya telah membuat Rino tak mampu lagi menahan amarahnya. Maka Rino pun lalu melayangkan tinjunya ke muka Heru. Heru telah bersiap untuk itu dan dengan enteng ditangkisnya tinju Rino, dan Heru balik menghajar muka Rino dengan keras.

Baku hantam itu mungkin akan sampai berdarah-darah kalau saja Jefry tidak muncul di tempat parkir yang lengang itu dan melerai mereka.

“Hei-hei-hei!” seru Jefry dengan keras. Lalu dia berlari ke arah mereka dan segera saja menarik Heru dari tubuh Rino yang terpojok di dekat mobilnya. Jefry yang bertubuh besar itu dengan mudah memisahkan perkelahian mereka.

“Kenapa, Her?” tanya Jefry pada Heru karena di antara mereka yang berantem, Herulah yang lebih dekat dengannya.

“Tanya sendiri sama dia!” sentak Heru sambil membetulkan bajunya.

Rino juga nampak membetulkan bajunya dan kemudian mendekati Heru yang kini dibelakangi Jefry.

“Dengar, brengsek,” kata Rino dengan bengis pada Heru, “kalau aku dengar kamu masih mencoba mendekati Cheryl, aku tidak akan ragu untuk membunuhmu!”

“Kita lihat saja!” balas Heru tanpa takut.

“Sudah, sudah!” seru Jefry memisahkan kembali. Ia yang kini tahu duduk perkaranya kemudian berkata pada Rino dengan halus, “Rin, sebaiknya kamu pergi dulu, deh.”

Rino pun segera berlalu dan kembali ke mobilnya. Beberapa saat kemudian mobil BMW tunggangannya itu segera melaju dengan kencang meninggalkan debu-debu areal parkir kampus itu.

“Kenapa sih harus sampai berantem seperti itu?” tanya Jefry pada Heru setelah Rino telah jauh melaju meninggalkan mereka.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (30)