Misteri Villa Berdarah
Aryo terlihat tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendengar rencana yang dipaparkan oleh Ricky. Ya, mengapa tidak, pikirnya sambil senyum-senyum membayangkan kejutan yang akan menimpa kawan-kawannya. Itu pasti akan menjadi kejutan yang menyenangkan, sekaligus menjadi peristiwa yang tak akan mereka lupakan, batin Aryo pula. Maka Aryo pun menyetujui rencana itu dan berjanji untuk mempersiapkan beberapa hal yang dibutuhkan demi terwujudnya rencana itu.

“Tapi kamu jangan bocorkan ini pada siapapun juga, ya,” kata Ricky serius. “Aku ingin tidak ada yang tahu rencana ini selain aku sama kamu, biar mereka pada surprised!”

“Oo-oke!” Aryo menganggukkan kepalanya dengan pasti.

Dan Ricky pun tersenyum.

Beberapa saat kemudian, Edi kembali muncul sambil membawa beberapa plastik air jeruk hangat, beberapa minuman dalam kaleng dan botol, dan juga cukup banyak bungkus roti dan wafer serta rokok. Mereka pun segera menikmatinya sembari bercakap-cakap sambil melepas lelah setelah perjalanan jauh dari Jakarta.

Dua jam kemudian, saat arlojinya menunjukkan pukul empat sore, cuaca nampak semakin gelap dan Ricky pun memutuskan untuk segera pulang kembali ke Jakarta. Aryo sudah siap untuk ditinggalkan sendiri.

“Pekerjaanmu di sini banyak sekali, jadi kamu pasti tidak akan sempat berpikir macam-macam,” kata Ricky saat akan meninggalkan Aryo. “Jadi, kamu tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Aku jamin, tidak akan ada apa-apa di sini.”

Aryo menggangguk. Di atas karpet masih ada cukup banyak minuman dan makanan dan juga rokok untuk persediaan sampai kedatangan kawan-kawannya, dan Aryo tak perlu mengkhawatirkan perutnya kelaparan.

Edi membuka pintu mobil, kini gilirannya yang menyetir karena tadi Ricky sudah menyetir saat perjalanan berangkat ke sini. Ricky duduk di samping Edi, dan mobil itu pun perlahan-lahan mulai bergerak meninggalkan halaman villa itu. Aryo berlari-lari kecil di belakang mobil untuk menutup kembali pintu gerbang villa.

Saat berdiri di belakang pintu gerbang dan memandangi mobil Ricky yang semakin menjauh, Aryo mulai merasakan bahwa sesuatu yang begitu gelap dan mengerikan tengah merayap di villa itu...

***

Di dalam mobil yang terus melaju menuruni jalanan yang cukup curam, Ricky menaikkan kedua kakinya yang pegal di atas dashboard, sementara sandaran jok tempatnya duduk diturunkan. Dia terlihat sedikit mengantuk, namun asap rokok terus-menerus mengepul dari mulutnya.

“Berani sekali tuh si Aryo,” kata Edi sambil mengganti gigi persneling saat memasuki jalanan yang mulai rata. “Sendirian dalam villa yang asing...”

Ricky hanya senyum-senyum. “Kan sudah kukatakan, kalau di sana tidak akan ada apa-apa.”

“Tapi kalau tahu sejarahnya, jujur saja aku tidak berani, Rick!”

“Aku juga,” sahut Ricky asal-asalan.

“Sialan!” rutuk Edi. “Kamu bilang kalau di sana tidak akan ada apa-apa?!”

“Ya memang tidak akan ada apa-apa, tapi aku tetap saja ngeri kalau disuruh sendirian di sana, menginap sendiri...”

“Lalu mengapa kamu suruh si Aryo sendirian di sana?”

“Ya biar saja,” sahut Ricky lagi dengan asal-asalan. “Yang penting kan dia dapat duit. Itu lebih penting bagi Aryo.”

“Tapi kalau dia dimakan genderuwo, bagaimana?”

“Sialan! Tidak ada genderuwo atau semacamnya, Ed! Villa itu sama sekali tidak angker!”

“Kuntilanak?” tanya Edi memastikan.

“Juga tidak ada!”

“Roh gentayangan?”

“Jangan ngaco!”

“Tapi soal bunuh diri itu...”

“Tapi itu kan sudah lama sekali, Ed!” Ricky menghembuskan asap rokoknya. “Ingat lho, kamu tidak boleh membocorkan hal itu sama yang lain, biar mereka tidak batal menikmati malam tahun baru di sini.”

“Don’t worry,” janji Edi. “Pokoknya kamu yang tanggung jawab!”

“Iya, dan aku berani jamin kalau tidak akan ada sesuatu pun yang terjadi di sana, oke?”

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (27)