Misteri Villa Berdarah

“Kamu benar-benar nekat, Rick!”

“Ed, kejadian bunuh diri itu sudah lama sekali,” sahut Ricky mencoba menjelaskan. “Sudah tujuh tahun lebih! Kenapa masih takut?!”

“Kkka-kamu yakin ttid-tidak aa-aakan ada aa-apa-apa?” Aryo nampak bergidik.

Ricky menanggapinya sambil tertawa. “Tidak akan ada apa-apa, aku jamin. Keluargaku sudah tiga kali bermalam di sini dan tidak pernah terjadi apa-apa.”

Mereka lalu melihat-lihat seluruh ruangan villa itu, dari depan sampai bagian belakang. Villa itu cukup luas, dan kalau saja terawat, mungkin akan terkesan asri. Di ruangan depan ada satu set sofa berukuran sedang, sementara di ruang tengah ada satu set meja kursi dari kayu. Ada juga sebuah bufet di pinggir dinding, dan di atasnya nampak sebuah pesawat telepon yang tertutup oleh plastik. Tidak ada televisi atau tape recorder. Hiasan dinding juga nyaris tidak ada selain hanya sebuah lukisan abstrak yang sepertinya sudah berumur tua.

Ada tiga kamar yang tak terlalu luas di villa itu, semuanya lengkap dengan sebuah springbed berukuran sedang plus bantal dan guling. Di dapur hanya ada beberapa gelas yang semuanya nampak kotor penuh debu, sementara di dalam lemari bawah terdapat beberapa perkakas seperti sapu, pemangkas rumput, kapak dan beberapa peralatan kebun. Hanya ada satu kamar mandi, dan kamar mandinya pun terlihat kotor karena lama tak pernah digunakan.

“Airnya masih jalan?” tanya Edi yang melihat bak mandi terlihat kosong tanpa air.

“Masih,” jawab Ricky sambil mencoba memutar kran di atas bak. Air dari dalam pipa terlihat mengucur cukup deras.

Setelah cukup berkeliling melihat-lihat ruangan, Ricky kemudian memandang Aryo. “Nah, Ar, kamu bisa kan membersihkan semuanya ini?”

“Bbb-bisa!” jawab Aryo. “Tttap-tapi...aa-aaku tttakut!”

Ricky tersenyum membesarkan nyali Aryo. “Tidak ada yang perlu ditakutkan, Ar. Percayalah padaku, tidak akan ada apa-apa.”

“Kkkalian jjangan ppergi...”

“Lho, kan janjinya kami cuma mengantar kamu sampai di sini,” sahut Ricky. “Kami akan kembali ke Jakarta, dan baru lusa kami akan kemari lagi bersama kawan-kawan yang lain...”

“Tttap-tapi...” Aryo masih nampak bingung. Haruskah ia sendirian di villa yang asing bekas orang bunuh diri ini?

“Percayalah, Ar, villa ini tidak angker seperti yang kamu bayangkan,” kata Ricky sambil mencoba tersenyum. “Lagi pula, kami tidak terlalu lama kan, meninggalkan kamu? Dua hari lagi kami sudah sampai di sini lagi, lengkap dengan kawan-kawan yang lain. Pokoknya villa ini harus sudah bersih begitu kami sampai, oke?”

“Kka-kalian bbenar mau dddat-datang?”

Ricky tertawa. “Lho, kita kan sudah janjian bersama kalau kita mau menikmati malam tahun baru di sini. Kami pasti datang, tidak usah khawatir!”

Edi kemudian menimpali. “Kalau kamu butuh berkomunikasi dengan kami, kamu bisa menggunakan telepon itu.”

“Iya,” timpal Ricky langsung. “Kamu tidak akan terputus hubungan dengan dunia luar. Pesawat telepon itu masih berfungsi. Kamu bisa gunakan telepon itu kalau kamu butuh menghubungi aku atau yang lainnya, asal tidak kamu pakai untuk menelepon party line!”

Edi tertawa, sementara Aryo cuma senyum-senyum.

Untuk memastikan berfungsinya pesawat telepon itu, Aryo mencobanya untuk menghubungi nomor telepon di rumah kakeknya. Dia tidak bisa mencoba menghubungi ponsel Edi atau Ricky, karena begitu mereka memasuki kawasan dataran tinggi itu, sinyal ponsel mereka sudah menghilang. Aryo menempelkan handel telepon di telinganya dan terdengar suara nada sambung. Aryo pun merasa puas dan kembali meletakkan handel telepon di tempatnya semula.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (25)