Misteri Villa Berdarah

“Setelah itu, dia tidak pernah datang lagi?” tanya Nirina penasaran.

“Tidak,” jawab Renata. “Cuma kemudian dia mengirim surat cinta.”

“Mengirim apa?” Nirina seperti salah dengar.

“Surat cinta. Gila, kan?” Kemudian Renata menceritakan kehadiran sebuah surat yang diantar pos suatu hari, dan saat dibukanya, ternyata itu surat dari Aryo. Dia berkata pada Nirina, “Tahu tidak, aku sama sekali tak menyangka kalau ternyata dia bisa menulis kata-kata yang cukup indah...”

“Aryo...?” Nirina ingin memastikan.

“Iya, surat itu ditulis tangan, dan menurutku, kata-katanya cukup romantis.”

Nirina jadi penasaran. “Kamu masih menyimpan surat itu, Ren?”

“Tadinya sih iya, aku simpan. Tapi kemudian Jefry tahu soal surat itu dan dia menyobek-nyobeknya dengan marah. Kamu tahu sendiri bagaimana tempramen si Jefry.”

“Jadi Jefry tahu kalau Aryo pernah menyatakan cinta ke kamu?” tanggap Nirina.

“Ya iyalah. Tadinya aku tidak pernah ngomong apa-apa ke dia soal itu. Tapi setelah Jefry melihat surat itu dan membacanya, dia kan jadi tanya macam-macam. Akhirnya ya aku ceritakan semua ke dia.”

“Jefry ngamuk-ngamuk dong, pastinya?” ujar Nirina yang tahu bagaimana karakter Jefry.

“Ya gitu, deh,” jawab Renata sambil membelalakkan matanya yang indah. “Aku tidak tahu apa yang kemudian diperbuat Jefry. Cuma waktu kutanya, dia hanya menjawab kalau dia sudah ngomong ke Aryo. Soal ngomongnya bagaimana, aku tidak tahu pasti.”

“Pasti pakai acara ngamuk-ngamuk segala, tuh,” sahut Nirina.

Renata tersenyum. “Ya mungkinlah. Cuma aku tidak terlalu mengurusi lagi. Pokoknya setelah itu Aryo tidak pernah menemuiku lagi.”

Setiap kali teringat pada cerita Renata itu, Nirina merasa semakin sebal dan sinis terhadap Aryo. Cowok itu benar-benar tidak waras, batinnya. Apakah di rumahnya tidak ada cermin untuk berkaca...? Dan sekarang cowok sialan itu tengah bersama Ricky, pacarnya, hingga membuat Nirina harus berangkat dan pulang kuliah sendirian. Sebal!

***

Mobil mereka mulai memasuki kawasan dataran tinggi Lingga pada pukul dua siang, dan kini mobil itu tengah merayap di jalanan yang terus menanjak ke atas. Meskipun masih siang, namun cuaca di daerah itu terasa gelap, tanpa panas matahari, bahkan terkesan mendung. Pohon-pohon besar dan tinggi di sisi kanan-kiri jalan menambah suasana gelap di jalanan. Menurut Ricky yang sudah beberapa kali kesana, jalanan itu bahkan akan tertutup kabut saat malam mulai menjelang.

“Masih jauh, Rick?” tanya Edi yang duduk di jok depan, di samping Ricky.

“Lumayan,” sahut Ricky sambil terus mengemudikan mobilnya.

“Kkkok ddari tttadi lllumayan-lumayan mme-melulu!” sewot Aryo di jok belakang mereka.

Ricky tertawa. “Ya tadi kan lumayan jauh, sekarang lumayan dekat.”

Kini jalan yang dilalui semakin menanjak dan terus menanjak. Cuaca terasa semakin gelap dan mendung, sementara udara dingin mulai terasa di tubuh mereka. Edi menutup jendela mobilnya, sementara Aryo menyulut rokoknya kembali.

“Dingin sekali,” komentar Edi sambil mengambil rokok di atas dashboard.

“Di puncak sana nanti tambah dingin, Ed,” sahut Ricky. “Itulah mengapa aku ingin sekali bisa menikmati malam tahun baru di sini. Menikmati suasana yang beda...”

Jalanan yang dilalui sekarang tidak lagi mulus seperti yang tadi, tapi mulai berkerikil tak rata. Ricky terus melajukan mobilnya sampai kemudian memasuki kawasan yang berumput, dan sekitar seratus meter kemudian mobil itu telah memasuki sebuah gapura. Di dekat gapura nampak beberapa warung makan dan juga wartel. Terlihat ada beberapa orang yang ada di sana.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (23)