Misteri Villa Berdarah

Aryo menarik laci meja di sebelah tempat tidurnya dan mengambil bungkus rokok. Tadi siang dia bisa membeli rokok dari hasil uang yang diberikan Ricky kepadanya. Diambilnya sebatang rokok, disulutnya, lalu dihisapnya asap rokok itu sambil mencoba menenangkan pikirannya.

Asap rokok bergumpal-gumpal di ruangan kamar Aryo yang tertutup rapat, namun Aryo tak peduli. Ia masih terpaku pada mimpinya tadi. Seraut wajah ayahnya... Dia masih mengingat betul seperti apa rupa ayahnya meski lama dia tak lagi melihatnya. Sosok yang tadi hadir dalam mimpinya pun ia yakini sebagai sosok ayahnya. Aryo tak pernah mampu melupakan wajah yang penuh kekejaman itu...

Masih hidupkah ayahnya? Ataukah sudah mati? Dimana dia sekarang...? Berpuluh-puluh kali sosok yang ingin dilupakannya itu hadir dalam mimpi Aryo, menerornya, menakutinya, mengancamnya, persis sama seperti yang terjadi bertahun-tahun yang lalu, ketika mereka masih hidup bersama, ketika ibunya masih ada... Sampai kapan mimpi-mimpi buruk itu akan berlalu? Sampai kapan mimpi menakutkan itu akan terus menghantuinya...?

“Aku sudah mengatakan kepadamu agar kamu tutup mulut! Tapi kamu melanggar perintahku...! Aku selalu tahu dimana pun kamu berada, dan aku pasti akan menemukanmu...”

Aryo menggigil sambil menghembuskan asap rokoknya. Dia tahu bahwa dia telah melanggar pesan ayahnya yang disampaikan dengan penuh ancaman bertahun-tahun yang lalu itu. Dia telah membuka mulutnya. Dia telah mengatakan sesuatu yang begitu dilarang oleh ayahnya. Dia telah memberitahu kawan-kawannya bahwa ayahnya telah membunuh ibunya...

Mungkinkah ayahnya sekarang tahu akan apa yang telah diperbuatnya...? Dan apakah dia juga akan menemukan dirinya untuk membunuhnya, sesuai dengan apa yang pernah diancamkannya bertahun-tahun yang lalu..?

Sekali lagi Aryo merasakan tubuhnya menggigil. Jarum jam di kamarnya terdengar berdetak begitu kencang di telinganya yang berdenging. Untuk kesekian kalinya, Aryo merasakan malam bagaikan tanpa akhir...

***

29 Desember,
empat hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...


Pagi hari itu, seperti yang telah dijanjikan kemarin, Ricky datang menjemput Aryo di rumahnya. Ia datang bersama Edi.

Aryo baru saja bangun dari tidurnya yang gelisah ketika mobil Ricky nampak memasuki halaman rumah kakeknya, dan dia pun bergegas mencuci muka di kamar mandi, lalu menemui Ricky dan Edi di ruang depan.

“Baru bangun tidur, ya?” sapa Ricky yang melihat rambut Aryo masih basah dan mata Aryo yang nampak masih merah.

Aryo mengangguk dengan lemah. Sesaat kemudian nampak nenek Aryo keluar membawakan minuman teh hangat untuk mereka. Aryo yang juga belum sempat meminum apa-apa semenjak bangun tidur tadi segera saja menyesap tehnya, lalu meraih rokok di atas meja.

“Wajahmu nampak pucat sekali, Ar,” kata Edi setelah menyulut rokok di bibirnya.

“Tttadi malam a-a-aaku ttid-tidak bbb-bisa tttidur,” jawab Aryo dengan letih.

“Kenapa?”

Aryo menjawabnya dengan berbisik, “Ttttadi malam a-a-aayahku kkkembali dddatang dddalam mimpiku...”

Edi dan Ricky nampak memandangi Aryo yang terlihat begitu pucat dan letih. Mereka sudah mendengar beberapa kali cerita tentang mimpi itu.

“Itu hanya mimpi, Ar,” kata Ricky kemudian. “Lupakan saja...”

“Kka-kamu ttid-tidak a-a-aakan bbbisa melupakan kka-kalau kka-kamu yang mengalaminya...! Mimpi ii-itu bbbegitu nnyata...”

“Tapi ayahmu sudah tidak pernah muncul, kan?” timpal Edi dengan suara lirih. “Maksudku, kamu tidak pernah bertemu ayahmu lagi di luar mimpi, kan?”

“I-iiya, ttapi...sssiapa yang ttahu ddia masih hidup a-a-aatau sssudah mati...?”

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (20)