Misteri Villa Berdarah

Semenjak itu pula, tenaga Aryo tidak terlalu dibutuhkan oleh Pak Amin, karena kini tak ada lagi banyak pekerjaan yang harus dibantunya. Pak Amin sekarang hanya mengurusi peternakan lelenya, dan Aryo hanya dipanggil sesekali saja. Dalam seminggu Aryo memang kadang dipanggil untuk ikut membantu, namun kini penghasilan Aryo berkurang drastis. Ia sekarang benar-benar harus sangat hemat untuk dapat meneruskan kuliahnya. Jika pas tidak ada uang sama sekali, Aryo pun terkadang berjalan kaki menuju kampusnya meski untuk itu ia harus berangkat dari rumah pukul tujuh pagi. Rezeki dan nasib baiknya telah dirampas oleh flu burung, dan kini Aryo berharap semoga saja tidak ada flu lele.

Di masa-masa yang suram itulah, Aryo beruntung memiliki kawan-kawan dekat yang mau menolongnya. Heru sering memberi tumpangan pada Aryo saat berangkat maupun pulang kuliah, sementara Ricky dan yang lain kadang mempekerjakannya untuk sesuatu hal dengan imbalan uang.

Kepada sahabat-sahabatnya itulah Aryo pertama kali mulai memberanikan diri untuk menceritakan kisah hidupnya yang getir, sekaligus juga malam mengerikan saat ibunya tewas karena penganiayaan ayahnya yang kejam. Keberaniannya menceritakan hal itu bukan karena kesadaran bahwa mungkin ayahnya telah melupakannya atau bahkan telah meninggal, tetapi karena waktu itu Aryo tengah berada di bawah pengaruh minuman keras yang diminumnya bersama kawan-kawannya saat Ricky mengundang mereka untuk menghabiskan malam di rumahnya yang kebetulan kosong.

Dan semenjak itu pulalah kawan-kawan Aryo mulai memahami apa yang telah terjadi pada hidup kawan mereka itu, dan sepertinya mereka bersimpati atas nasibnya.

Ketika Aryo tengah tenggelam dalam lamunannya sendiri, suara Pak Burhan menyentakkannya dengan keras dari depan kelas.

“Aryo!” seru Pak Burhan sambil menatap Aryo dengan galak seraya tangannya menunjuk ke whiteboard di depan kelas, “Sekarang selesaikan penghitungan neraca laba-rugi dari kasus ini!”

Aryo mengutuk dalam hati. Dosennya itu pasti tadi telah melihatnya melamun, dan kini Aryo memandangi tulisan di whiteboard dengan bingung. Mata kuliah akuntansi selalu membuatnya pusing, dan sekarang dia harus maju untuk menyelesaikan sesuatu yang memusingkan itu.

Kawan-kawan sekelasnya diam mematung.

***

28 Desember,
lima hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...

Pagi menjelang siang itu Jefry baru saja melangkah menuju ke kelasnya ketika Renata menarik lengannya dan berbisik dengan bingung untuk yang kesekian kalinya, “Aku merasa dibayang-bayangi terus, Jef.”

“Itu pasti hanya perasaanmu saja, Ren,” kata Jefry mencoba menenangkan kekasihnya.

“Tapi dia selalu ada di dekatku,” balas Renata. “Sepertinya kemana pun aku pergi, dia selalu mengikutiku!”

“Itu mungkin karena kamu terlalu terpengaruh oleh perasaanmu sendiri,” kata Jefry masih bersikukuh. “Masalah di perpustakaan itu terus saja kamu besar-besarkan...”

“Tapi tadi pagi dia juga berpapasan denganku,” sahut Renata masih mencoba. “Aku baru keluar dari kamar kecil ketika aku melihatnya tengah menatapku...”

Jefry jadi tersenyum sendiri. “Kalau setiap orang yang berpapasan denganmu menjadi masalah bagimu, hidupmu tidak akan tenang, Ren! Dan setiap orang selalu suka memandangimu. Mengapa? Karena kamu cantik!”

Akhirnya Renata pun mengangkat bahunya sendiri dengan letih. Jefry sepertinya tak mau mendengarkan kekhawatirannya.

“Aku tidak mau ikut acara kalian,” cetus Renata kemudian secara tiba-tiba.

“Apa?” tanya Jefry tak paham dengan maksud pacarnya.

“Aku tidak mau ikutan acara malam tahun baru di villa milik Ricky,” papar Renata.

“Ren, ada apa sih denganmu?” Jefry jadi nampak jengkel.

“Aku tidak mau ikut kesana. Perasaanku jadi tidak enak!”

“Tapi itu bukan masalah, Ren, kalau saja kamu tidak menjadikannya masalah!”

“Tapi aku takut, Jef...”

“Ketakutanmu sama sekali tak beralasan. Aku ada bersamamu selalu, jadi apa yang kamu takutkan lagi?”

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (15)