Misteri Villa Berdarah

Di depan sebuah kelas di kampus yang sama, Heru dan Edi juga tengah asyik mengobrol sambil merokok. Dosen yang seharusnya mengajar pada jam itu belum juga datang, dan sepertinya tak akan datang.

“Memang enak jadi dosen,” kata Heru sambil menghembuskan asap rokoknya. “Kalau bolos tak perlu takut soal presensi. Tidak seperti mahasiswanya yang selalu diancam dengan presensi setiap kali tak masuk kelas!”

Edi cengar-cengir mendengar komentar itu. “Kalau mau menghitung ketidakadilan di kampus ini, kita bakalan punya setumpuk daftar, Her.”

Heru masih akan berkata lagi ketika Aryo nampak datang dan mendekati mereka. Aryo adalah salah satu kawan mereka yang biasa ngumpul bersama.

“Pppak A-a-aziz be-bbelum dddatang...?” tanya Aryo dengan logatnya yang gagap, yang sudah terkenal di seantero kampus mereka.

“Baru saja diomongkan,” kata Edi. “Pak Aziz sepertinya tidak datang hari ini.”

“Sssyu-syukurlah...”

“Lho, kok malah bersyukur?” tanya Heru dengan heran.

“A-a-aku bbbelum bbb-bikin tttugas!”

Edi langsung menepuk jidatnya sendiri. “Ya ampun! Untung kamu bilang, Ar! Aku juga belum bikin tugas kuliahnya Pak Aziz!”

Heru kembali ke topik pembicaraan mereka semula, “Sistem kuliah kita ini memang brengsek! Dosen-dosen itu pada seenaknya sendiri menyuruh mahasiswanya bikin tugas, tapi ketika hari H penilaiannya, dosennya malah tidak berangkat!”

“Bukankah itu malah untung?” sela Edi.

“Untung bagi mahasiswa seperti kamu yang tidak mengerjakan tugas itu. Tapi mahasiswa yang lain kan sudah bela-belain lembur semalaman mengerjakan tugas itu, seperti aku misalnya.”

Edi kembali cengar-cengir. Heru sepertinya benar-benar antipati dengan kampusnya sendiri. Dan Edi pun tahu bagaimana mengomporinya biar semakin panas. “Belum lagi soal registrasi, Her...” pancingnya kemudian.

“Nah itu dia!” Heru langsung menangkap pancingan itu. “Mereka menetapkan tanggal yang pasti untuk pembayaran registrasi setiap semester dan tidak mau peduli bagaimana cara kita membayarnya. Mereka hanya perlu tahu bahwa kita membayarnya dan tidak telat satu detik pun sebelum tanggal penutupan. Tapi giliran pembagian nilai ujian, mereka seenak perutnya sendiri. Jadwal pembagian nilai ujian bisa saja tanggal sepuluh, tapi keluarnya tanggal dua puluh! Huh, tidak heran kalau negeri ini rusak kayak gini!”

Edi tersenyum, sementara Aryo tertawa.

“Ppp-perpustakaan jjuga ttid-tidak aa-adil!” kata Aryo kemudian.

Heru dan Edi spontan menatap wajah Aryo.

“Tidak adil bagaimana, Ar?” tanya Heru tertarik. Ia kecanduan dengan ketidakadilan, khususnya yang ada di kampusnya.

Aryo mencoba menjelaskan, “Kkkka-kalau kkkita telat bbbalikin bbbuku, kkkkita dddi-denda u-u-uang! Tttap-tapi...kkka-kalau kkki-kita bbbalikin bbbuku lebih a-a-awal, kkki-kita ttidakk ddi-ddikasih u-u-uang!”

Heru dan Edi seketika tertawa terbahak-bahak.

Aryo kemudian menepuk bahu Heru. “Ppp-punya rrrokok?”

Heru segera merogoh saku celananya dan menjawab sambil tersenyum, “Pppp-punya!” Lalu diberikannya bungkus rokok itu pada Aryo yang langsung menerimanya dengan senyum senang. Aryo memungut sebatang, menyulutnya, lalu mengembalikan bungkus rokok pada Heru.

Aryo nampak menikmati rokoknya dengan penuh nikmat, sementara Edi kemudian berujar, “Her, kamu sudah tahu rencana malam tahun baru kita, kan?”

Heru juga menyulut rokoknya, lalu menjawab, “Sudah. Ricky kemarin sudah ngasih tahu.”

Aryo lalu menyahut, “Jjjja-jadi kkkitaa...”

Edi yang tak sabar segera melanjutkan ucapan itu, “Iya, jadi kita akan bermalam tahun baru di villa milik Ricky.”

“Aku harus cepat-cepat cari cewek nih,” ucap Heru kemudian seperti merenung.

Edi langsung menyahut sambil tersenyum, “Kamu tuh aktivis kampus apa aktivis cewek sih, Her?”

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (8)