Misteri Villa Berdarah

Arman mencoba menggunakan ponselnya, tapi sama sekali tak ada sinyal. Di dataran tinggi itu, sinyal ponsel sangat sulit didapat. Kawan-kawannya yang lain juga mengambil ponselnya, namun tidak ada satu pun yang mendapatkan sinyal. Semenjak pertama kali sampai di tempat ini, mereka sudah langsung menyadari bahwa komunikasi mereka telah terputus dengan dunia luar.

Arman kembali berkata, “Aku akan ke wartel terdekat. Kalian bisa menunggu di sini...”

“Sebaiknya jangan di sini,” sela Pepen dengan gugup. “Cari tempat lain saja.”

Yang lain pun segera setuju. Mereka segera bersiap meninggalkan halaman villa itu dan Bimo serta Jimmy kembali mengangkat tubuh Gina yang masih pingsan.

Dengan ditemani Arif, Arman kemudian turun dari tempat mereka, untuk mencari wartel yang bisa digunakan, sementara kawan-kawannya menunggu di suatu lokasi yang cukup jauh dari villa tadi.

Arman tahu bahwa di bawah ada sebuah wartel yang menyatu dengan sebuah rumah makan yang biasa didatangi oleh para pecinta alam. Semoga saja wartel itu buka. Juga rumah makannya. Dia perlu segelas teh panas untuk menghangatkan tubuhnya. Kejutan-kejutan pagi ini sudah cukup membuat seluruh tubuhnya seperti membeku.

***

Sambungan telepon itu sampai di sebuah kantor polisi terdekat, dan sang operator segera mengangkatnya setelah tiga kali berdering.

“Kantor Polisi Sektor Barat, selamat siang,” sapanya dengan formal.

“Selamat siang,” suara di seberang sana, “saya...saya ingin melaporkan sesuatu...”

“Maaf, bisa menyebutkan nama Anda?” sang operator meminta dengan halus.

“Arman,” sahut orang di telepon dengan suara yang terdengar gugup. “Kami...kami menemukan mayat-mayat di villa...”

“Dimana Anda sekarang?”

“Saya di wartel di daerah Lingga.”

“Ceritakanlah dari awal...”

“Ehm...semenjak tiga hari yang lalu, saya bersama kawan-kawan berkemah di sini, dan pagi tadi kami sudah akan pulang. Tetapi salah satu kawan kami terpatuk ular, dan kami pun berencana mencari pertolongan terdekat untuk membantu kawan kami itu. Kami mendatangi sebuah villa di sini, namun villa itu seperti tak berpenghuni. Karena sangat butuh pertolongan segera, kami pun nekat masuk ke villa itu, karena pintunya tak terkunci. Dan di dalam...kami menemukan beberapa mayat yang...yang mengerikan. Sepertinya...seperti korban pembunuhan...”

“Berapa mayat yang Anda lihat?”

“Lima mayat, tapi mungkin ada mayat-mayat lain di dalam villa itu. Saya dan kawan-kawan tak berani lama-lama di sana. Kami langsung keluar.”

“Tak ada barang yang disentuh?”

“Sama sekali tidak—sejauh yang saya ingat. Kami tak menyentuh apa-apa.”

“Jelaskan lokasi Anda, dan villa itu.”

Sang operator mendengarkan dengan khusyuk sementara suara di seberang sana menjelaskan. Setelah selesai, dia menjanjikan, “Kami akan segera datang.”

“Kalau bisa, hm...kami juga minta bantuan untuk membawa kawan kami yang sakit...”

“Jangan khawatir. Akan ada beberapa ambulan yang akan kesana.”

Selesai meletakkan handel telepon pada tempatnya, sang operator menghadapi beberapa polisi di kantor itu, dan rekaman hubungan telepon barusan pun diputar. Semuanya mendengar suara seorang pemuda menjelaskan tentang beberapa mayat yang ditemukannya dalam sebuah villa yang sudah tak asing lagi bagi mereka. Daerah itu ada dalam distrik wilayah mereka, dan mereka pun tahu betul tentang villa itu.

“Kedengarannya seperti sebuah pembantaian...” gumam salah seorang polisi. “Villa angker itu rupanya kembali meminta tumbal nyawa...”

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (6)