Misteri Villa Berdarah (3)

Arman pun mengetuk pintu villa itu dengan suara yang lebih keras, namun tetap tak ada yang keluar dan membukakan pintu villa.

“Jangan-jangan villa ini kosong,” kata Jimmy sambil masih memperhatikan villa itu yang nampak begitu sepi. Kaca depan villa itu terbuat dari kaca rayban, sehingga orang yang di luar tak bisa menyaksikan keadaan di dalam.

“Pasti ada orangnya,” sahut Arman. “Mobilnya masih terparkir di sini.”

Jimmy lalu memberanikan diri untuk mengintip ke dalam melalui kaca depan, namun pandangannya terhalang oleh kain gorden yang menutupi kaca dari dalam.

Arman kembali mengetuk-ngetuk pintu villa, namun tetap tak ada yang keluar.

“Sudah kubilang villa ini angker,” kata Pepen sambil berbisik, “penghuni villa ini pasti bukan sejenis manusia...”

“Tutup mulut, Pen!” sentak Bimo lagi dengan sewot. Mengapa sih anak ini otaknya selalu kacau begitu?

Lalu dengan jengkel pula Bimo mengetuk pintu villa itu dengan sangat keras, mungkin lebih tepat jika disebut menggedor. Tetapi tetap saja tidak ada yang mendengar, tidak ada yang keluar dan membukakan pintu villa itu.

Kini Arman dan Jimmy saling pandang dengan heran sekaligus bingung. Kalau memang penghuni villa ini masih tertidur, tentu mereka akan tetap mendengar gedoran Bimo yang sangat keras itu, selelap apapun tidur mereka. Suara gedoran yang bercampur dengan kejengkelan itu rasanya sudah cukup untuk membangunkan mayat!

Akhirnya, Jimmy mendekati pintu itu dan mencoba membuka handel pintunya. Seketika dia melepaskan pintu itu ketika ternyata pintu villa itu sama sekali tak terkunci. Sekali lagi mereka saling berpandangan dengan heran.

Didorong oleh kebutuhan untuk meminta pertolongan bagi kawan mereka, dicampur dengan keheranan dan rasa penasaran, akhirnya Arman, Bimo dan Jimmy memberanikan diri memasuki villa itu. Pepen nampak membuntuti dari belakang dengan takut-takut, sementara yang lain memilih untuk tetap di luar. Kalau memang villa ini angker seperti yang dikatakan Pepen tadi, biarlah cukup mereka saja yang dimangsa oleh dedemit di dalamnya!

Ruang depan villa itu nampak kosong, namun bekas-bekas keberadaan orang begitu nampak di sana. Ada beberapa bungkus rokok dan puntung-puntungnya yang bertebaran di sana-sini, juga beberapa botol minuman yang telah kosong. Ada beberapa botol minuman keras, ada pula botol-botol minuman energi.

“Aku mencium bau pesta seks,” bisik Bimo sambil nyengir.

“Tapi kuntilanak tidak akan minum energy drink,” bisik Pepen dari belakang mereka.

Sekali lagi Bimo dan Jimmy melotot galak. Pasti bocah ini salah satu keturunan genderuwo atau kuntilanak!

Arman yang pertama kali memperhatikan adanya warna merah yang membekas di lantai ruang depan itu, dan matanya menelusuri warna merah yang nampak memanjang dari tempatnya berada. Kini Arman melangkah masuk ke ruang dalam, mengikuti bekas warna merah itu, dan Jimmy serta Bimo mengikuti di belakangnya. Pepen masih membuntuti.

“Baunya tidak enak,” kata Pepen tiba-tiba sambil mendengus-denguskan hidungnya seperti mencoba mengenali bau di hidungnya.

Bimo langsung menoleh ke belakangnya dan berbisik, “Jangan katakan ini bau badan kuntilanak!”

“Tapi sepertinya iya,” jawab Pepen sungguh-sungguh.

Oh sialan, rutuk Bimo. Semoga saja bocah ini mati digigit kuntilanak!

Jimmy dan Arman juga mulai mencium aroma yang tidak sedap itu, dan mereka mencoba mengenali bau apakah itu. Mereka mengedarkan pandangannya menyapu ke seluruh ruangan, dan ruangan ini pun jelas terlihat pernah dihuni dalam waktu dekat ini. Di atas meja besar di sana terdapat beberapa bekas lilin dan juga gelas-gelas serta teko dan juga bungkus-bungkus wafer serta cookies.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (4)